@NurilmiwidyaN
Setiap
orang pasti punya masalah kan? Artis yang kita kira hidupnya sudah sempurna
saja punya masalah tersendiri. Setiap orang punya masalah, tapi isi hidupnya
tidak masalah semuanya kan? Ada saatnya tersenyum, marah, sedih, panik,
bingung, dan banyak lagi deh ekspresi hidup manusia. Tapi kita disini tidak
akan membahas tentang ekspresi, juga tidak membahas tentang masalah orang lain
karena masalah kita sendiri saja tidak selesai. Oke, berhenti berbahasa formal.
Ini
ceritaku, tentang impianku. Dulu waktu aku kecil, waktu masih esde, guru-guru
esdeku pada iseng nanya,”Wiwid nanti mau jadi apa?” serius, waktu pertama kali
ditanya bingung naudzubillah. Akhirnya mulai deh mikirin cita-cita. Namnya anak
kecil gitu ya, liat orang keren dikit langsung deh jadi pengen kayak orang itu.
misalnya, nih aku kasih contoh, waktu itu nonton berita atau liputan kali ya
namanya tentang dokter. Terus tipinya munculin gambar dokter lagi menjelaskan
sesuatu gitu, trus dia nyuntik orang, duh kelihatannya pinter banget deh, nah
mulai pengen jadi dokter.
Berikutnya,
aku melihat polisi wanita yang cantik dengan seragamnya, wah keren banget tuh,
jadi pengen jadi polwan. Lihat pramugari lagi nerangin sesuatu ke penumpangnya
pakai bahasa inggris, widiih cakep euy, apalagi seragamnya yang keren abis
menurut aku. Jadi mulai pengen jadi pramugari. Lihat baju-baju cantik di toko
mulai pengen jadi penjahit (waktu itu belum ngerti yang namanya desainer).
Kalau disebutin banyak banget deh cita-cita yang sempat masuk di otakku.
Nah,
mulai masuk sekolah menengah pertama (aku masuk MTs dulu) aku mulai ngelupain
yang namanya cita-cita. Tapi sebenarnya, mulai disinilah aku mulai mengerti
cita-cita. Aku sering mengunjungi perpustakaan daerah di kotaku. Disana ada
banyak novel-novel yang ceritanya membuat imajinasiku terbuka lebar seolah
selama ini tertutup rapat. Selesai membaca novel, aku mulai menulis cerita-cerita
panjang. Waktu itu belum ada laptop lho, jadi aku tulis tangan. Capek memang
tapi rasaya tuh puas. Oh iya, lupa sebenarnya waktu pertama nulis aku mulai
dengan menulis ulang novel yang sudah aku baca dengan diganti namaku dan nama
gebetanku. Buku tempat menulisnya ku simpan hati-hati loh, supaya nggak
ketahuan sama temanku, malu dong. Pernah dibaca mamaku loh, kaku ditempat
diledekin sama mama sendiri. Cerita-cerita itu pokoknya aku impan sendiri.
Terus aku pindah kos dan bukunya nggak tau kemana.
Di
SMA aku mulai memikirkan masa depanku. Aku tertarik dengan bahasa inggris,
terutama ketika MTs guru-guru bahasa inggris yang mengajarku kreatif semua,
kagum ngeliatnya. Meskipun pas SMAnya guru bahasa inggrisnya nggak semangat
banget ngajarnya, aku tetap suka sama bahasa inggris. Mulailah aku merancang
cita-citaku yang sebenarnya. Aku bercita-cita menjadi guru bahasa inggris
sekreatif guruku dulu, sekaligu ingin menjadi penulis, menulis disela-sela
waktu senggangku sebagai guru, menulis novel yang akan jadi best seller,berisi
karakter-karakter yang membuat orang tersenyum sendiri , menyenangkan untuk
dibaca, dan difilmkan. Benar-benar cita-cita yang sempurna. Aku akan mengadakan
bimbel untuk menambah penghasilan, dan
malamnya aku akan memikirkan tema-tema cerita yang indah.
Aku
mulai membicarakannya pada orang tuaku tentang impianku jadi guru bahasa
inggris, tapi jadi penulis novel aku belum mengatakannya. Bukan karena apa-apa,
aku cuma malu menyebutnya. Mereka setuju. Oke, aku tidak mempunyai masalah saat
itu. Tapi, ketika kelas 3 ayahku mulai menanyakan tentang universitas apa yang
mau ku masuki. Dengan yakin aku menjawab “Universitas Negri, jurusan bahasa
inggris.” Toh, kemarin-kemarin dia setuju kan. Tapi, jawabannya kali ini bikin
aku kalut. “Kenapa nggak coba tes masuk kebidanan aja? Tes ya, kalau lulus
masuk situ aja,” Blam!! Rasanya tuh kayak ketelen bomnya Hitler terus meledak
bareng badanku.
Tidak
ada masalah memang, aku jurusan IPA, tinggi badan mencukupi, biaya kalau ayahku
menawarkan berarti dia punya biayanya kan? Tapi masalahnya aku sama sekali
tidak tertarik jadi bidan. Bayangkan, aku harus membantu orang melahirkan,
menyuntik, memeriksa penyakit-penyakit. Aku bukan orang penjijik, bukan orang
takut kotor juga, tapi aku tidak pernah berpikir untuk bermain dengan nyawa
orang seperti bidan itu, meskipun dulu sempat kepikiran jadi dokter, bukan
berarti aku benar-benar ingin jadi dokter atau orang kesehatan lainnya.
Lagipula, jadi bidan kan sibuk, gimana caranya aku bisa menyelesaikan tulisanku
kalau aku sibuk? Terus, kata orang jadi bidan itu bisa dibangunin orang waktu
tidur, aku kan kalau udah tidur nggak bisa dibangunin dengan mudah.
Hingga
kini masalahku belum terpecahkan. Aku betul-betul tidak ingin punya pekerjaan
yang beresiko besar itu. Namun, sebenarnya apapun pekerjaan kita kelak, yang
penting kita punya cita-cita dari sekarang. Meskipun nantinya entah kesampaian
atau tidak, yang penting kita punya cita-cita dan berusaha dengan sekuat tenaga
agar bisa tercapai. Dan ingat juga, cita-cita adalah sesuatu yang bisa kita
lakukan, bukan sesuatu yang harus kita lakukan, karena sesuatu yang harus kita
lakukan belum tentu bisa kita lakukan. Daripada merugikan banyak orang dengan
sesuatu yang tidak bisa kita lakukan, lebih baik mengsah segala apa yang kita
bisa sehingga menyenangkan banyak orang bukan?
q1q
BalasHapus