Senin, 25 Mei 2015

Freak Girl



Namanya Hasanah. Artinya baik. Tapi sama sekali berlawanan dengan sifat sebenarnya. Sana, panggilannya adalah cewek galak, cuek, ketus, urakan, tapi pintar. Dia sekolah di SMA General 2 kelas 2-4. Rumahnya ada di salah satu perkampungan kumuh didaerah pulo mas Jakarta timur. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa dia sekolah di sekolah elit. Beasiswa, jawabannya. Awalnya sih Sana nggak mau nerima, tapi setelah dipikir-pikirnya berulang kali, dia mau juga. Sana selalu berfikiran tidak ada manusia yang tidak munafik di dunia ini termasuk dia. Ayahnya berprofesi sebagai pemabuk, yah Sana tidak tahu pekerjaan ayahnya selain mabuk. Kadang-kadang ayahnya bisa memberi uang entah darimana asalnya, tapi sana tidak pernah menyentuhnya. Ibunya, Sana tidak pernah tahu. Dia selalu hidup dengan ayahnya yang gemar memaki, mencerocos tak karuan. Apalagi kalau sudah mabuk. Hanya amarah yang keluar dari mulut ayahnya. Sana tidak pernah menyukai kehidupannya. Tidak pernah suka dengan ayahnya. Dan berharap dia tidak pernah ada didunia ini. Semuanya suram sampai dia bertemu dengan teman-temannya sekarang. ada Selly, Ada Sera, dan si mungil Sita. Mereka menerima Sana dengan tangan terbuka meskipun status social mereka dengan Sana terlalu berbeda. Sana merasa tidak sendiri. Meskipun kadang Sana sering selisih paham dengan mereka.
“Hey, honey kok melamun?” seseorang berujar dibelakang telinga Sana dan merangkulkan tangannya kebahu Sana. Lamunan Sana buyar. Segera ditepisnya tangan itu. Sana melihat seorang cowok nyengir kuda dihadapannya. Cowok ini namanya Gifa, kelas 2-3. Gifa tertawa-tawa melihat tampang kesal Sana. Gifa punya cerita lain. Cowok ini tidak pernah absen menggoda Sana. Membuat Sana marah dan kesal bertubi-tubi. Dia tidak akan berhenti menggoda Sana sampai Sana menyahuti terus marah dan mengejarnya keliling sekolah.
“Not your matter!” sahut Sana ketus.
Sana beranjak dari tempat itu dan menuju kelasnya.
“Ayolah princess, Try to smile for me! Aku bosan melihatmu cemberut, cemberut terus. Kamu harus tahu, semuanya terasa indah kalau kita tersenyum sekalipun kamu punya masalah.” Kata Gifa lugas.
Langkah Sana terhenti. Dia menatap Gifa tak percaya. Tumben sekali Gifa bicara serius. Biasanya yang keluar dari mulutnya hanya candaan tak penting. Pikir Sana.Tapi Sana tak terlalu memikirkan perkataan Gifa dan kembali melangkah. Gifa mencoba mensejajari langkah Sana dan belum berhenti menggoda Sana.
“Sana, kamu hanya menjawab satu kata nggak boleh lebih, ingat cuman satu kata bukan satu kalimat untuk pertanyaan ini ‘kita ke toko eskrim untuk?’ untuk apa ayo?”
Sana berpura-pura tak mendengar dan terus melangkah.
“Mungkin aku butuh earphone kalau sedang dekat kamu!” ujar Sana.
“Ayolah friend, you must answer the question..”  kata Gifa sok berbahasa inggris.
“Benar-benar menyebalkan dekat dengan kamu! telingaku sakit mendengar bahsa inggris setengah-setengah yang keluar dari mulut kamu itu! Lebih baik kamu diam, dan berhenti bicara dengan ku. Anggap saja kita tidak pernah kenal. Pergi menjauh sebelum aku bertindak kasar!” pekik Sana emosi. Beberapa pasang mata menoleh kaget. Gifa dengan tampang antara mau nyengir dan malu diliatin orang.
“Oke girl, hari ini sampai sini dulu, besok weekend, kita jalan yuk!” Gifa terkejut dengan apa yang baru keluar dari mulutnya. Sana lebih terkejut lagi, dan reflex meninju wajah Gifa. Gifa kaget dan belum siap mengelak. Alhasil cowok itu meringis kesakitan. Sana gemetar. Dia kaget dengan dirinya sendiri.
“e.. a.. kamu hati-hati dong! jangan buat malu orang sembarangan, kamu fikir dengan ngajak aku jalan aku senang. Kamu.. arghh!” Sana kesal, kenapa yang keluar dari mulutnya hanya makian. Sebenarnya dia ingin minta maaf tapi. Sana kesal tak tahu harus berbuat apa, dia meninggalkan Gifa yang masih meringis kesakitan.
***
“Cewek freak kayak gitu masih aja lo deketin gif!” Seru Dani teman satu kosnya. Gifa masih sibuk mengompres lebam akibat di tonjok Sana tadi.
“Gilaa! Kuat banget sih tu cewek.” Ujar Gifa seolah tak  mempedulikan kata-kata temannya tadi.
“Udah deh, kan masih banyak cewek lain yang lebih manis, kenapa harus si aneh Sana itu. Meskipun lo nggak seganteng gue Gif, tapi kan setidaknya masih ada yang mau sama lo..” kata Dani smabil cekikikan.
“Sialan lo Dan!” Gifa melempar bantal kearah Dani. Dani menyambutnya dengan sigap. Gifa tersenyum dan meletakkan kompres di baskom.
“Dan, lo nggak tau sih, tu cewek aslinya baik, gue cuman mau dia berubah aja kok.”
“Ya deh terserah elo..”
***
Sana tak bisa menahan lagi. Dia muak dengan kelakuan ayahnya.
“Bapak benar-benar biadab! Setan!” teriak Sana ketika bapaknya memaksa dia memberikan uang hasil kerja Sana.
“Berani banget lo ngomong kayak gitu! Anak nggak tau di untung lo! Pergi sana! Nggak usah balik lagi!” teriak bapaknya lebih keras. Sana menatap mata ayahnya tajam dan penuh kebencian.
“Okey aku pergi, dasar bangsat!” caci Sana sambil beranjak pergi menuju pintu luar. Dia berjalan menjauhi rumahnya dengan sebal. Baru beberapa langkah dia pergi, tampak dari jauh rombongan warga menuju rumahnya dengan membawa macam-macam alat. Ada yang membawa kayu, baskom dll. Ada apa? Pikir Sana. Dipasangnya kupingnya baik-baik.
“Kami minta kamu keluar Roy dari kampung ini. Kamu sudah mengganggu ketentraman kami. Kamu mengutang di sana-sini tapi tidak pernah mengembalikannya. Kami menuntut hak kami. Kembalikan uang kami!” seru seorang bapak yang menjadi juru bicara warga itu. Sana menghela nafas. Tanpa peduli dengan barusan yang ia dengar, Sana melanjutkan perjalanannya dan berjanji tidak akan menginjakkan kaki dikampung itu lagi. Tapi kemana ia?. Langkah Sana terhenti. Kemana dia akan pergi. Kerumah sahabat-sahabatnya kah? Tidak mungkin, rumah mereka jauh dari sini, dan Sana sebenarnya takut di usir oleh orang tua mereka. mungkin anaknya tidak mempermasalahkan status social, tapi orang tuanya siapa tahu. Sana masih punya harga diri untuk itu. Sana melangkah lagi. Setelah beberapa jam berjalan, ia berhenti. Lapar dan dahaga menyerangnya. Di rogohnya kantong celananya dan hanya ada selembar uang seribu. Ia singgah di warung dan membeli rokok. Sana berjalan lagi, tanpa peduli perutnya melilit perih. Dia sampai di taman kota. Sana duduk di salah satu bangkunya dan mengeluarkan rokoknya. Ah bodohnya ia, ia bahkan tidak punya korek api. Sana termenung. Bayangannya ingat ketika umurnya 8 tahun. Saat itu ibunya masih ada. Kehidupannya sedikit menyenangkan di banding sekarang. meskipun masih tetap miskin. Ia tidak dekat dengan ibunya, karena ibunya sangat suka marah-marah. Dan suatu pagi, ketika dia bangun tidur, tak di dapatinya ibunya dirumah itu. Ia bertanya pada bapaknya, bapaknya menjawab ‘entahlah’ dan setelah itu Sana lupa kalau dia pernah punya ibu. Sekarang Sana mulai bisa berfikir, mungkin ibunya pergi dengan laki-laki lain, atau mungkin ibunya memang tidak mau mengurusi mereka berdua lagi. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang berseliweran di otak Sana. Lamunan Sana terputus ketika ada seseorang menempati kursinya. Orang itu menoleh dan tersenyum.
“Sendirian aja?” pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut cowok itu.
“Udah lo liat sendiri kan kalau gue sendirian, dasar bego!” kata Sana ketus.
“Okey aku bego ya..” kata cowok itu lagi. Ia melirik rokok yang ada di genggaman Sana.
“Lo mau ngerokok?” tanya nya lagi.
Sana menoleh ke cowok itu.
“Iya, kenapa nggak suka kalau gue ngerokok? Mau bilang gue cewek nggak baik. Hellow, kenapa semua yang berhubungan dengan rokok di nilai nggak baik, tapi kenapa pabrik rokok nggak di tutup, biar nggak ada rokok lagi, dan semua orang nggak perlu merokok! Dan bokap gue nggak perlu minta duit gue buat beli rokok dan minum-minuman keras. Dunia ini benar-benar menyebalkan.. Arggh!” ujar Sana menggebu-gebu, mendadak emosinya meluap-luap. Sana sadar dia sudah berlebihan dan menunduk.
“Pertanyaan nya mirip untuk apa kita hidup? Untuk apa kita merokok? Jawabannya, adalah karena nafsu. Seseorang bernafsu tapi tidak sadar itu merugikan orang lain dan diri sendiri.” Jawab Gifa.
Sana menatap cowok itu. Mata yang teduh, yang membuat Sana bergetar. Ia mengalihkan pandangannya kearah sebuah keluarga yang sedang piknik di taman itu. Sana menahan airmatanya agar tidak jatuh. Ia mengandaikan keluarga itu keluarganya. Ada bapaknya, ibunya, dia, dan kelak adiknya. Keluarga yang saling menyayangi, tidak ada makian dan cacian. Sana menarik nafasnya, huh dia sadar kalau dia terlalu mendramatisir sesuatu yang nggak mungkin. Ia menoleh lagi ke arah Gifa.
“Lo ada korek nggak?”tanyanya.
Gifa menggeleng.
“Untuk apa aku bawak-bawak korek, kamu kira aku anak pramuka yang mau praktek buat dapur umum?”
Sana hampir tersenyum tapi di tahannya. Dahinya mengernyit. Waw aku-kamu?
“Yah mungkin kamu harus bawak korek, mana tau kamu berniat bakar diri gitu di suatu tempat..”
Gifa tertawa lepas. Sana menoleh. Cowok itu menghentikan tawanya.
“Mungkin itu kamu. karena kelihatannya kamu depresi berat, sampai-sampai mau tersenyum pun di tahan.” Kata cowok itu lugas. Ekspresi Sana berubah dan kelihatan jelas. Bagaimana cowok itu tahu kalau dia menahan senyum tadi.
“Dan aku yang melihatnya pun tidak bisa menahan tawa karena wajah kamu yang tiba-tiba berubah semerah kepiting.”
Sana benar-benar gondok, ia seperti maling yang ketahuan mencuri.
“Berisik! Lo ah! Mau gue tonjok lagi?” tanya Sana, sebenarnya untuk menutupi bahwa tadi dia malu.
“okey, key gue minta maaf. Eh jalan yuk!”
“Kemana?”
“Ikut aja dulu!” Gifa segera menyeret Sana pergi. Sana ingin menepis tangan Gifa yang memegang tangannya, tapi hatinya melarang.
***
“Mungkin aku sedang nggak waras saat ini..”  ujar Sana. Kening Gifa mengernyit.
“Kenapa?” tanyanya.
“Karena aku mau diajak jalan sama kamu dan bisa dibilang ini DATE dadakan. Dan aku tidak pernah membayangkan ini sepanjang aku hidup..” kata Sana tanpa menoleh ke Gifa. Tawa Giwa berderai. Di acak-acaknya rambut Sana pelan. Deg! Sana tiba-tiba saja merasa bahagia. Sebelumnya dia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Merasa dipedulikan dan bahagia. Tapi Sana segera menepis perasaanya dan kembali bersikap ketus.
Gifa melihat rona wajah Sana yang kembali masam. Dan menghentikan gerakannya.
“Yah sebenarnya aku juga sih, ini pertama kalinya jalan berdua sama cewek..”
“Sama cewek aneh gitu maksud kamu!” potong Sana.Gifa cekikikan lagi melihat sikap Sana yang seperti itu.
“Iya, iya tebakan kamu benar kok, cewek aneh yang udah menawan hatiku..” goda Gifa dengan tatapan jail. Sana ingin tersenyum, tapi seperti biasa, ada satu sisi yang menahannya untuk tersenyum. Ia ingin sekali mencubit pipi Gifa dengan geram, seperti cewek-cewek kalau lagi di goda pacarnya. Cewek manis, Sana sadar dia tidak harus melakukan itu.
“Oke, oke, apa kamu nggak bisa bikin satu hari ini aja jadi hari tersenyum bagi kamu. kamu nggak boleh nahan senyum, nahan ketawa. Kamu harus lepasin semua beban kamu hari ini? Just for today!” Gifa menantang Sana. Sana ingin menolak tapi satu sisi hatinya melarangnya. Oke, Cuma untuk hari ini saja Sana. Akhirnya Sana tersenyum dan..
Dunia serasa berhenti. Gifa rasanya kehabisan tenaga untuk menegakkan tubuhnya. Untuk pertama kalinya Sana tersenyum dan senyumnya terasa tak mau hilang dari pikiran Gifa. Gifa mematung diam. Terpesona.
“Kamu benar-benar cantik kalau lagi senyum Sana!” kata Gifa spontan yang membuat Sana salting dan kembali merengut.
“Eh, liat ada eskrim!” Sana melonjak dan menarik jaket biru yang dipakai Gifa. Gifa tersenyum, Sana benar-benar manis kalau seperti ini.
“Okey tunggu di sini, aku beliin..” Gifa berlari kecil dan tak berapa lama ia kembali dengan dua eskrim ditangannya dan menyerahkan satu untuk Sana. Sana yang sebenarnya lapar itu menyendok lahap eksim itu. Dan tak berapa lama gelas eskrimnya sudah kosong. Dia melirik eskrim Gifa penuh minat.
“Oke, nih buat kamu, aku nggak terlalu suka eskrim kok, tapi jangan salahin aku ya kalau kamu jadi seperti Genta.” Kata Gifa sambil menggembungkan pipinya menirukan pipi Genta. Genta adalah anak 2-3 yang kelebihan berat badan. Sana tertawa pelan melihat sikap Gifa.
“Aku nggak bakalan gendut kok, kan aku makannya cuman sekali setahun..” kata Sana. Sana jadi teringat peristiwa miris yang dialaminya waktu bersama ibunya.
“Ibu, Na mau beli eskrim, minta uang dong bu!” rengek Sana waktu itu. Tangannya tengadah ke muka ibunya. Ibunya menepuk keras tangan Sana sambil membentak.
“Kamu bisanya minta sama ibu aja! Sana deh minta sama orang kaya yang bermobil, jangan minta sama ibu. Dasar anak anjing!” Sana kecil berlari sambil menangis ketakutan. Sana tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba saja dia sudah tidak berminat lagi dengan eskrim Gifa yang ada ditangannya. Matanya memanas. Duh, Sana, kenapa kamu mengasihani diri kamu seperti itu, jangan nangis, kamu akan kelihatan lemah! Seru hati Sana.
“Buat kamu aja deh. Aku dah nggak pengen lagi..”
Gifa menatap Sana penuh tanda tanya, heran dengan perubahan sikap Sana yang sangat drastis. Gifa menghela nafas pelan.
“Kadang berbagi itu bikin beban kita sedikit berkurang lho! Bisa berbagi dengan siapapun orang yang kamu percaya, bisa sahabat, oh iya kamu punya sahabatkan siapa ya namanya, sita selly dan..”
“Sera! Tapi aku tidak bisa berbagi dengan orang semacam mereka, mereka nggak ngerti kesusahanku, karena mereka nggak pernah merasakan bagaimana di tinggal pergi oleh ibu kandung sendiri dan tak pernah diurus oleh ayah sendiri, mereka cuman tahu kebahagiaan punya orangtua utuh, semua kebutuhan terpenuhi, kemewahan, hura-hura, mereka nggak bakalan pernah merasa susah seperti aku dan bahkan sekarang aku nggak tahu akan pulang kemana!” Sana jadi ingat kalau dia tak punya rumah lagi sekarang. kemana dia harus pergi.
“Kkamu nggak punya rumah? oh bukan maksud aku rumah kamu kenapa?” tanya Gifa dengan mata setengah melotot.
“Nggak ada rumah. aku di usir. Dan malam ini aku akan tidur di emperan toko sendirian ditemani nyamuk-nyamuk, arghh! Sudahlah! Aku ingin bunuh diri saja!” kata Sana histeris. Gifa diam-diam tersenyum. Gadis yang biasa dilihatnya cuek, ketus, hari ini benar-benar berbeda, dia lebih bisa mengungkapkan perasaannya.  Sana berdiri hendak meninggalkan Gifa.
“Eh, mau kemana?”
“Mau pergilah! Kamu terlalu banyak tahu masalahku, dan terlalu ikut campur, sok sok menasehatiku dan.. itu benar-benar menyebalkan. Trims buat eskrimnya, besok kalau ada uang aku bayar deh.”
Gifa menggeleng heran. Gadis itu benar-benar aneh, aneh dan sangat aneh, tapi karena aneh itu lah dia semakin tertarik. Tertarik untuk mengubah segala perilakunya yang hampir menyimpang, sebelum terlambat.
“Kamu mau pergi kemana? Dan kamu sadar nggak sih kalau kamu itu cewek! Ini sudah hampir senja, kamu harus sama aku, ayo ikut aku!”
Gifa menarik paksa tangan Sana menuju arah rumahnya. Sana menepis kasar tangan Gifa.
“Apa-apaan sih lo! Lo bener-bener ngeselin ya! lepasin tangan gue! Jangan lo kira gue udah cerita banyak sama lo, lo bisa mainin gue?cuihh! gue nggak pernah percaya sama satu orang pun di dunia ini termasuk lo!” bentak Sana mulai berlo-guean.
“Lo nggak bisa ngehargain kebaikan orang apa? Gue tau seaneh-anehnya sikap elo, elo masih punya hati, dan elo butuh tempat dimana lo bisa bersandar. Aku ngelakuin ini semua tulus San, aku nggak mau kenapa-kenapa! Cuma itu kok!” kata Gifa, suaranya melembut. Sana menatap Gifa sendu. Airmatanya tidak bisa dibendung lagi. Sana menangis sesenggukan. Gifa meraih bahu Sana dan mendekapnya.
“Maaf, sejak aku kecil yang kudengar hanya cacian dan makian, jadi aku nggak tau harus berbuat apa dengan orang yang care sama aku, aku nggak pernah mendapat sentuhan kasih sayang orangtuaku. Mereka tu rasanya nggak pernah ada didunia ini. aku..hiks” Sana segera sadar dan cepat-cepat diusapnya airmatanya.
“Biasanya otakku selalu bekerja cepat melarang kalau aku terlalu mendramatisir sesuatu seperti ini. well, aku malu! Maaf ya,”
“Semua orang berhak nangis kok, sekeras apapun orang itu, nggak perlu malu.” Gifa tersenyum dan menggenggam erat tangan Sana. Tiba-tiba saja hari yang cerah berubah mendung. Dan beberapa saat kemudian hujan mulai turun dengan deras.
“Yah ujan, kerumah aku aja dulu ya, dekat kok dari sini..” kata Gifa. Mereka berlari-lari kecil menuju rumah Gifa.
***
Sana termenung didepan pintu rumah kos-kosan Gifa menatap sosok wanita yang selama ini dicarinya. Wanita itu tak kalah terkejut. Hanya Gifa yang tak tahu menahu, tapi ia sadar situasinya lagi tidak enak. Sana berbalik meninggalkan rumah itu tak jadi masuk. Udara malam mulai menusuk kulitnya, apalagi dengan pakaiannya yang basah kuyup itu.
“Sana! Tunggu Sana!” teriak Gifa dibelakangnya. Sana segera berlari menjauh. Wanita itu masih berdiri dengan otak penuh tanda tanya. Sana anakku kah? Pikirnya bingung. Sementara Sana, air matanya bergulir tiada henti. Hatinya kalut. Antara bingung mau pergi kemana, meyakinkan kalau wanita dengan pakaian mewah dan perhiasan di tubuhnya itu bukan ibunya. Sana memang masih kecil saat ibunya meninggalkan dia dan ayahnya itu tapi Sana tahu itu ibunya. Jika memang itu ibunya, ah, betapa malangnya dia, ibunya bermewah-mewah, sementara dia, dia baru sadar kalau seharian ini tidak makan apapun selain eskrim tadi. Dan kepalanya berdenyut hebat. Brukk!!
***
Sana merasa mencium bau khas obat-obatan, perlahan matanya membuka.
“Sana, kamu sudah sadar nak? Ohh syukurlah.” Suara wanita berkata lega terdengar dari telinga Sana. Sana membuka matanya. Pandangan kabur menghiasi pemandangan matanya. Dan semakin lama semakin jelas. Dimana ini?. Gorden putih, dinding putih, ah ini rumah sakit. Sana melihat sekelilingnya. Ada Gifa, Dani, dan beberapa orang yang tak dikenalnya dan.. seorang wanita paruh baya sedang mengelus kepalanya. Sana sadar itu wanita yang selama ini diharapkan kedatangannya oleh Sana. Sana mencoba menepis tangan wanita yang sedang membelai rambutnya tapi ia merasa lemah sekali.
“Si..siapa kamu?” tanya Sana dengan susah payah. Susah sekali baginya mengeluarkan suara.
“Sayang, ini ibu, maafin ibu, maafin ibu udah ninggalin kamu dulu.” Ibunya menangis sesenggukan. Sana menatapnya sinis.
“Ibu ku sudah mati ketika umurku 8 tahun, aku tidak mempunyai ibu lagi. Mungkin anda salah orang. Karena anda harus tahu, banyak orang mirip didunia ini. Tolong aku Gifa, lepaskan jarum infus ini. aku harus cepat-cepat pergi.”
“Nggak, Sana kamu harus dengarkan penjelasan ibu kamu dulu.”
“Aku nggak mau dengar bangsat!” maki Sana dengan suara lemah.
“Itu yang selalu kamu ajarkan ke aku dulu kan! Memaki, huh, dan sekarang aku sudah jadi professional dalam memaki orang.” Lanjut Sana. Dia sangat tidak menyangka akan bertemu dengan ibunya lagi. Sana mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi kepalanya sangat pusing dan Sana kembali tak sadarkan diri.
***
“Sana!” seru seseorang dibelakangnya, Sana menoleh dan tersenyum. Sana ingat lagi kejadian smeinggu lalu, ketika dia masih dirumah sakit. Dia terbangun lagi setelah pingsan untuk yang kedua kalinya. Dan dia melarikan diri dari rumah sakit, yah meskipun saat itu tubuhnya sangat lemah. Diluar rumah sakit ia bertemu Gifa, dan tentu saja Gifa mengejarnya. Sana mengira Gifa akan membawanya kembali kerumah sakit, ternyata enggak.
“Kamu udah bisa keluar kok hari ini, kamu kan nggak sakit berat, Cuma anemia biasa.” Kata Gifa waktu itu.
“Sekarang kamu mau kemana? Aku akan antar!” kemana? Iya kemana kamu? tanya Sana pada dirinya sendiri.
“Aku mau kembali kerumah, setidaknya dirumah itu masih ada barang-barangku.”
“Ok, aku antar.” Kata Gifa. Setelah beganti baju, mereka pun pergi menuju kerumah lama Sana. Sepanjang perjalanan Gifa terus memberi nasihat untuk Sana.
“Kamu harusnya bangga loh, sekarang ibu kamu kan nggak suka memaki kayak dulu lagi, kamu harus menghargai perubahannya.”
“Yah whateverlah, peduli banget dengan wanita itu.” Kata Sana cuek dengan nasihat Gifa. Tapi sepetinya Sana harus menarik kata-katanya ketika melihat seorang wanita sedang menyapu di rumahnya. Sana hendak memaki perempuan tak tau malu itu, tapi dia teringat kata-kata Gifa tadi. dan bagaimana pun dia yang sudah melahirkan Sana. Sana mendadak ingin menangis. Dia baru saja hendak berlaku kurang ajar pada orang yang melahirkannya. Orang yang mempertaruhkan nyawanya, demi dirinya. Mendadak Sana jadi merindukan ibunya itu. Ia berlari menghampiri ibunya , memeluknya erat dan membisikkan kata-kata sayangnya. Tiba-tiba bapaknya keluar dari dalam rumah dan melihat adegan itu, tersenyum penuh arti.
“Sana, jadi gimana?” lamunan Sana buyar.
“Eh apanya? Loh katanya mau cerita, kok malah apanya sih!” kata Sera sambil cemberut.
“Okey, maaf aku cerita deh,” kata Sana sambil tersenyum. Akhir-akhir ini banyak hal yang dia pelajari, tentang pentingnya senyum, dan kata-kata kotor yang harus dicoret dari kamus hidupnya, tentang cinta dan sahabat, keluarga..
“Ayahku sekarang kerja di kantor dinas pendidikan, ibuku sekarang sedang mengurus penghibahan rumah kos-kosan punya almarhum suaminya, dan ayah sama ibuku bakalan nikah lagi 2 minggu lagi, kalian jangan lupa dateng ya, jangan lupa bawa pegawal-pengawal pribadi kalian..” kata Sana lucu.
Tawa mereka berderai.
“Duh kalian sih enak, punya semua, la aku.” seru Sita pura-pura kecewa,
“Duh Sitaa. Kan Genta selalu menunggumu..” celetuk Selly. Mereka kembali cekikikan tak karuan.
Tilililit!
Ada sms masuk kehp Sana, Where are u, dear? I’m waiting for you in library,key. Gifa.
Sana seperti dipaksa senyum. Bahasa inggris cowok ini masih aja kacau balau.
“Eh, berita penutup, aku jadian sama Gifa 2 hari yang lalu dan sekarang aku harus pergi, dah muah byebye semua!” seru Sana tanpa mempedulikan temannya terbengong.
***END***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Little Sistaa

My Little Sistaa
Her name is Nur Alvina Ilyas, born : Kuala Tungkal city, 7 November 2010 , 2:00 AM.