Namanya
Hasanah. Artinya baik. Tapi sama sekali berlawanan dengan sifat sebenarnya.
Sana, panggilannya adalah cewek galak, cuek, ketus, urakan, tapi pintar. Dia
sekolah di SMA General 2 kelas 2-4. Rumahnya ada di salah satu perkampungan
kumuh didaerah pulo mas Jakarta timur. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa dia
sekolah di sekolah elit. Beasiswa, jawabannya. Awalnya sih Sana nggak mau
nerima, tapi setelah dipikir-pikirnya berulang kali, dia mau juga. Sana selalu
berfikiran tidak ada manusia yang tidak munafik di dunia ini termasuk dia.
Ayahnya berprofesi sebagai pemabuk, yah Sana tidak tahu pekerjaan ayahnya
selain mabuk. Kadang-kadang ayahnya bisa memberi uang entah darimana asalnya,
tapi sana tidak pernah menyentuhnya. Ibunya, Sana tidak pernah tahu. Dia selalu
hidup dengan ayahnya yang gemar memaki, mencerocos tak karuan. Apalagi kalau
sudah mabuk. Hanya amarah yang keluar dari mulut ayahnya. Sana tidak pernah
menyukai kehidupannya. Tidak pernah suka dengan ayahnya. Dan berharap dia tidak
pernah ada didunia ini. Semuanya suram sampai dia bertemu dengan teman-temannya
sekarang. ada Selly, Ada Sera, dan si mungil Sita. Mereka menerima Sana dengan
tangan terbuka meskipun status social mereka dengan Sana terlalu berbeda. Sana
merasa tidak sendiri. Meskipun kadang Sana sering selisih paham dengan mereka.
“Hey,
honey kok melamun?” seseorang berujar dibelakang telinga Sana dan merangkulkan
tangannya kebahu Sana. Lamunan Sana buyar. Segera ditepisnya tangan itu. Sana
melihat seorang cowok nyengir kuda dihadapannya. Cowok ini namanya Gifa, kelas
2-3. Gifa tertawa-tawa melihat tampang kesal Sana. Gifa punya cerita lain.
Cowok ini tidak pernah absen menggoda Sana. Membuat Sana marah dan kesal
bertubi-tubi. Dia tidak akan berhenti menggoda Sana sampai Sana menyahuti terus
marah dan mengejarnya keliling sekolah.
“Not
your matter!” sahut Sana ketus.
Sana
beranjak dari tempat itu dan menuju kelasnya.
“Ayolah
princess, Try to smile for me! Aku bosan melihatmu cemberut, cemberut terus.
Kamu harus tahu, semuanya terasa indah kalau kita tersenyum sekalipun kamu
punya masalah.” Kata Gifa lugas.
Langkah
Sana terhenti. Dia menatap Gifa tak percaya. Tumben sekali Gifa bicara serius.
Biasanya yang keluar dari mulutnya hanya candaan tak penting. Pikir Sana.Tapi
Sana tak terlalu memikirkan perkataan Gifa dan kembali melangkah. Gifa mencoba
mensejajari langkah Sana dan belum berhenti menggoda Sana.
“Sana,
kamu hanya menjawab satu kata nggak boleh lebih, ingat cuman satu kata bukan
satu kalimat untuk pertanyaan ini ‘kita ke toko eskrim untuk?’ untuk apa ayo?”
Sana
berpura-pura tak mendengar dan terus melangkah.
“Mungkin
aku butuh earphone kalau sedang dekat kamu!” ujar Sana.
“Ayolah
friend, you must answer the question..”
kata Gifa sok berbahasa inggris.
“Benar-benar
menyebalkan dekat dengan kamu! telingaku sakit mendengar bahsa inggris
setengah-setengah yang keluar dari mulut kamu itu! Lebih baik kamu diam, dan
berhenti bicara dengan ku. Anggap saja kita tidak pernah kenal. Pergi menjauh
sebelum aku bertindak kasar!” pekik Sana emosi. Beberapa pasang mata menoleh
kaget. Gifa dengan tampang antara mau nyengir dan malu diliatin orang.
“Oke
girl, hari ini sampai sini dulu, besok weekend, kita jalan yuk!” Gifa terkejut
dengan apa yang baru keluar dari mulutnya. Sana lebih terkejut lagi, dan reflex
meninju wajah Gifa. Gifa kaget dan belum siap mengelak. Alhasil cowok itu
meringis kesakitan. Sana gemetar. Dia kaget dengan dirinya sendiri.
“e..
a.. kamu hati-hati dong! jangan buat malu orang sembarangan, kamu fikir dengan
ngajak aku jalan aku senang. Kamu.. arghh!” Sana kesal, kenapa yang keluar dari
mulutnya hanya makian. Sebenarnya dia ingin minta maaf tapi. Sana kesal tak
tahu harus berbuat apa, dia meninggalkan Gifa yang masih meringis kesakitan.
***
“Cewek
freak kayak gitu masih aja lo deketin gif!” Seru Dani teman satu kosnya. Gifa
masih sibuk mengompres lebam akibat di tonjok Sana tadi.
“Gilaa!
Kuat banget sih tu cewek.” Ujar Gifa seolah tak
mempedulikan kata-kata temannya tadi.
“Udah
deh, kan masih banyak cewek lain yang lebih manis, kenapa harus si aneh Sana
itu. Meskipun lo nggak seganteng gue Gif, tapi kan setidaknya masih ada yang
mau sama lo..” kata Dani smabil cekikikan.
“Sialan
lo Dan!” Gifa melempar bantal kearah Dani. Dani menyambutnya dengan sigap. Gifa
tersenyum dan meletakkan kompres di baskom.
“Dan,
lo nggak tau sih, tu cewek aslinya baik, gue cuman mau dia berubah aja kok.”
“Ya
deh terserah elo..”
***
Sana
tak bisa menahan lagi. Dia muak dengan kelakuan ayahnya.
“Bapak
benar-benar biadab! Setan!” teriak Sana ketika bapaknya memaksa dia memberikan
uang hasil kerja Sana.
“Berani
banget lo ngomong kayak gitu! Anak nggak tau di untung lo! Pergi sana! Nggak
usah balik lagi!” teriak bapaknya lebih keras. Sana menatap mata ayahnya tajam
dan penuh kebencian.
“Okey
aku pergi, dasar bangsat!” caci Sana sambil beranjak pergi menuju pintu luar.
Dia berjalan menjauhi rumahnya dengan sebal. Baru beberapa langkah dia pergi,
tampak dari jauh rombongan warga menuju rumahnya dengan membawa macam-macam
alat. Ada yang membawa kayu, baskom dll. Ada apa? Pikir Sana. Dipasangnya
kupingnya baik-baik.
“Kami
minta kamu keluar Roy dari kampung ini. Kamu sudah mengganggu ketentraman kami.
Kamu mengutang di sana-sini tapi tidak pernah mengembalikannya. Kami menuntut
hak kami. Kembalikan uang kami!” seru seorang bapak yang menjadi juru bicara
warga itu. Sana menghela nafas. Tanpa peduli dengan barusan yang ia dengar,
Sana melanjutkan perjalanannya dan berjanji tidak akan menginjakkan kaki
dikampung itu lagi. Tapi kemana ia?. Langkah Sana terhenti. Kemana dia akan
pergi. Kerumah sahabat-sahabatnya kah? Tidak mungkin, rumah mereka jauh dari
sini, dan Sana sebenarnya takut di usir oleh orang tua mereka. mungkin anaknya
tidak mempermasalahkan status social, tapi orang tuanya siapa tahu. Sana masih
punya harga diri untuk itu. Sana melangkah lagi. Setelah beberapa jam berjalan,
ia berhenti. Lapar dan dahaga menyerangnya. Di rogohnya kantong celananya dan
hanya ada selembar uang seribu. Ia singgah di warung dan membeli rokok. Sana
berjalan lagi, tanpa peduli perutnya melilit perih. Dia sampai di taman kota.
Sana duduk di salah satu bangkunya dan mengeluarkan rokoknya. Ah bodohnya ia,
ia bahkan tidak punya korek api. Sana termenung. Bayangannya ingat ketika
umurnya 8 tahun. Saat itu ibunya masih ada. Kehidupannya sedikit menyenangkan
di banding sekarang. meskipun masih tetap miskin. Ia tidak dekat dengan ibunya,
karena ibunya sangat suka marah-marah. Dan suatu pagi, ketika dia bangun tidur,
tak di dapatinya ibunya dirumah itu. Ia bertanya pada bapaknya, bapaknya menjawab
‘entahlah’ dan setelah itu Sana lupa kalau dia pernah punya ibu. Sekarang Sana
mulai bisa berfikir, mungkin ibunya pergi dengan laki-laki lain, atau mungkin
ibunya memang tidak mau mengurusi mereka berdua lagi. Dan masih banyak
kemungkinan-kemungkinan lain yang berseliweran di otak Sana. Lamunan Sana
terputus ketika ada seseorang menempati kursinya. Orang itu menoleh dan
tersenyum.
“Sendirian
aja?” pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut cowok itu.
“Udah
lo liat sendiri kan kalau gue sendirian, dasar bego!” kata Sana ketus.
“Okey
aku bego ya..” kata cowok itu lagi. Ia melirik rokok yang ada di genggaman
Sana.
“Lo
mau ngerokok?” tanya nya lagi.
Sana
menoleh ke cowok itu.
“Iya,
kenapa nggak suka kalau gue ngerokok? Mau bilang gue cewek nggak baik. Hellow,
kenapa semua yang berhubungan dengan rokok di nilai nggak baik, tapi kenapa
pabrik rokok nggak di tutup, biar nggak ada rokok lagi, dan semua orang nggak
perlu merokok! Dan bokap gue nggak perlu minta duit gue buat beli rokok dan
minum-minuman keras. Dunia ini benar-benar menyebalkan.. Arggh!” ujar Sana
menggebu-gebu, mendadak emosinya meluap-luap. Sana sadar dia sudah berlebihan
dan menunduk.
“Pertanyaan
nya mirip untuk apa kita hidup? Untuk apa kita merokok? Jawabannya, adalah
karena nafsu. Seseorang bernafsu tapi tidak sadar itu merugikan orang lain dan
diri sendiri.” Jawab Gifa.
Sana
menatap cowok itu. Mata yang teduh, yang membuat Sana bergetar. Ia mengalihkan
pandangannya kearah sebuah keluarga yang sedang piknik di taman itu. Sana
menahan airmatanya agar tidak jatuh. Ia mengandaikan keluarga itu keluarganya.
Ada bapaknya, ibunya, dia, dan kelak adiknya. Keluarga yang saling menyayangi,
tidak ada makian dan cacian. Sana menarik nafasnya, huh dia sadar kalau dia
terlalu mendramatisir sesuatu yang nggak mungkin. Ia menoleh lagi ke arah Gifa.
“Lo
ada korek nggak?”tanyanya.
Gifa
menggeleng.
“Untuk
apa aku bawak-bawak korek, kamu kira aku anak pramuka yang mau praktek buat
dapur umum?”
Sana
hampir tersenyum tapi di tahannya. Dahinya mengernyit. Waw aku-kamu?
“Yah
mungkin kamu harus bawak korek, mana tau kamu berniat bakar diri gitu di suatu
tempat..”
Gifa
tertawa lepas. Sana menoleh. Cowok itu menghentikan tawanya.
“Mungkin
itu kamu. karena kelihatannya kamu depresi berat, sampai-sampai mau tersenyum
pun di tahan.” Kata cowok itu lugas. Ekspresi Sana berubah dan kelihatan jelas.
Bagaimana cowok itu tahu kalau dia menahan senyum tadi.
“Dan
aku yang melihatnya pun tidak bisa menahan tawa karena wajah kamu yang
tiba-tiba berubah semerah kepiting.”
Sana
benar-benar gondok, ia seperti maling yang ketahuan mencuri.
“Berisik!
Lo ah! Mau gue tonjok lagi?” tanya Sana, sebenarnya untuk menutupi bahwa tadi
dia malu.
“okey,
key gue minta maaf. Eh jalan yuk!”
“Kemana?”
“Ikut
aja dulu!” Gifa segera menyeret Sana pergi. Sana ingin menepis tangan Gifa yang
memegang tangannya, tapi hatinya melarang.
***
“Mungkin
aku sedang nggak waras saat ini..” ujar
Sana. Kening Gifa mengernyit.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Karena
aku mau diajak jalan sama kamu dan bisa dibilang ini DATE dadakan. Dan aku
tidak pernah membayangkan ini sepanjang aku hidup..” kata Sana tanpa menoleh ke
Gifa. Tawa Giwa berderai. Di acak-acaknya rambut Sana pelan. Deg! Sana
tiba-tiba saja merasa bahagia. Sebelumnya dia tidak pernah merasakan hal
seperti ini. Merasa dipedulikan dan bahagia. Tapi Sana segera menepis
perasaanya dan kembali bersikap ketus.
Gifa
melihat rona wajah Sana yang kembali masam. Dan menghentikan gerakannya.
“Yah
sebenarnya aku juga sih, ini pertama kalinya jalan berdua sama cewek..”
“Sama
cewek aneh gitu maksud kamu!” potong Sana.Gifa cekikikan lagi melihat sikap
Sana yang seperti itu.
“Iya,
iya tebakan kamu benar kok, cewek aneh yang udah menawan hatiku..” goda Gifa
dengan tatapan jail. Sana ingin tersenyum, tapi seperti biasa, ada satu sisi
yang menahannya untuk tersenyum. Ia ingin sekali mencubit pipi Gifa dengan
geram, seperti cewek-cewek kalau lagi di goda pacarnya. Cewek manis, Sana sadar
dia tidak harus melakukan itu.
“Oke,
oke, apa kamu nggak bisa bikin satu hari ini aja jadi hari tersenyum bagi kamu.
kamu nggak boleh nahan senyum, nahan ketawa. Kamu harus lepasin semua beban
kamu hari ini? Just for today!” Gifa menantang Sana. Sana ingin menolak tapi
satu sisi hatinya melarangnya. Oke, Cuma untuk hari ini saja Sana. Akhirnya
Sana tersenyum dan..
Dunia
serasa berhenti. Gifa rasanya kehabisan tenaga untuk menegakkan tubuhnya. Untuk
pertama kalinya Sana tersenyum dan senyumnya terasa tak mau hilang dari pikiran
Gifa. Gifa mematung diam. Terpesona.
“Kamu
benar-benar cantik kalau lagi senyum Sana!” kata Gifa spontan yang membuat Sana
salting dan kembali merengut.
“Eh,
liat ada eskrim!” Sana melonjak dan menarik jaket biru yang dipakai Gifa. Gifa
tersenyum, Sana benar-benar manis kalau seperti ini.
“Okey
tunggu di sini, aku beliin..” Gifa berlari kecil dan tak berapa lama ia kembali
dengan dua eskrim ditangannya dan menyerahkan satu untuk Sana. Sana yang
sebenarnya lapar itu menyendok lahap eksim itu. Dan tak berapa lama gelas
eskrimnya sudah kosong. Dia melirik eskrim Gifa penuh minat.
“Oke,
nih buat kamu, aku nggak terlalu suka eskrim kok, tapi jangan salahin aku ya
kalau kamu jadi seperti Genta.” Kata Gifa sambil menggembungkan pipinya
menirukan pipi Genta. Genta adalah anak 2-3 yang kelebihan berat badan. Sana
tertawa pelan melihat sikap Gifa.
“Aku
nggak bakalan gendut kok, kan aku makannya cuman sekali setahun..” kata Sana.
Sana jadi teringat peristiwa miris yang dialaminya waktu bersama ibunya.
“Ibu,
Na mau beli eskrim, minta uang dong bu!” rengek Sana waktu itu. Tangannya
tengadah ke muka ibunya. Ibunya menepuk keras tangan Sana sambil membentak.
“Kamu
bisanya minta sama ibu aja! Sana deh minta sama orang kaya yang bermobil,
jangan minta sama ibu. Dasar anak anjing!” Sana kecil berlari sambil menangis
ketakutan. Sana tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba saja dia sudah tidak
berminat lagi dengan eskrim Gifa yang ada ditangannya. Matanya memanas. Duh,
Sana, kenapa kamu mengasihani diri kamu seperti itu, jangan nangis, kamu akan
kelihatan lemah! Seru hati Sana.
“Buat
kamu aja deh. Aku dah nggak pengen lagi..”
Gifa
menatap Sana penuh tanda tanya, heran dengan perubahan sikap Sana yang sangat
drastis. Gifa menghela nafas pelan.
“Kadang
berbagi itu bikin beban kita sedikit berkurang lho! Bisa berbagi dengan
siapapun orang yang kamu percaya, bisa sahabat, oh iya kamu punya sahabatkan
siapa ya namanya, sita selly dan..”
“Sera!
Tapi aku tidak bisa berbagi dengan orang semacam mereka, mereka nggak ngerti
kesusahanku, karena mereka nggak pernah merasakan bagaimana di tinggal pergi
oleh ibu kandung sendiri dan tak pernah diurus oleh ayah sendiri, mereka cuman
tahu kebahagiaan punya orangtua utuh, semua kebutuhan terpenuhi, kemewahan,
hura-hura, mereka nggak bakalan pernah merasa susah seperti aku dan bahkan
sekarang aku nggak tahu akan pulang kemana!” Sana jadi ingat kalau dia tak
punya rumah lagi sekarang. kemana dia harus pergi.
“Kkamu
nggak punya rumah? oh bukan maksud aku rumah kamu kenapa?” tanya Gifa dengan
mata setengah melotot.
“Nggak
ada rumah. aku di usir. Dan malam ini aku akan tidur di emperan toko sendirian
ditemani nyamuk-nyamuk, arghh! Sudahlah! Aku ingin bunuh diri saja!” kata Sana
histeris. Gifa diam-diam tersenyum. Gadis yang biasa dilihatnya cuek, ketus,
hari ini benar-benar berbeda, dia lebih bisa mengungkapkan perasaannya. Sana berdiri hendak meninggalkan Gifa.
“Eh,
mau kemana?”
“Mau
pergilah! Kamu terlalu banyak tahu masalahku, dan terlalu ikut campur, sok sok
menasehatiku dan.. itu benar-benar menyebalkan. Trims buat eskrimnya, besok
kalau ada uang aku bayar deh.”
Gifa
menggeleng heran. Gadis itu benar-benar aneh, aneh dan sangat aneh, tapi karena
aneh itu lah dia semakin tertarik. Tertarik untuk mengubah segala perilakunya
yang hampir menyimpang, sebelum terlambat.
“Kamu
mau pergi kemana? Dan kamu sadar nggak sih kalau kamu itu cewek! Ini sudah
hampir senja, kamu harus sama aku, ayo ikut aku!”
Gifa
menarik paksa tangan Sana menuju arah rumahnya. Sana menepis kasar tangan Gifa.
“Apa-apaan
sih lo! Lo bener-bener ngeselin ya! lepasin tangan gue! Jangan lo kira gue udah
cerita banyak sama lo, lo bisa mainin gue?cuihh! gue nggak pernah percaya sama
satu orang pun di dunia ini termasuk lo!” bentak Sana mulai berlo-guean.
“Lo
nggak bisa ngehargain kebaikan orang apa? Gue tau seaneh-anehnya sikap elo, elo
masih punya hati, dan elo butuh tempat dimana lo bisa bersandar. Aku ngelakuin
ini semua tulus San, aku nggak mau kenapa-kenapa! Cuma itu kok!” kata Gifa,
suaranya melembut. Sana menatap Gifa sendu. Airmatanya tidak bisa dibendung
lagi. Sana menangis sesenggukan. Gifa meraih bahu Sana dan mendekapnya.
“Maaf,
sejak aku kecil yang kudengar hanya cacian dan makian, jadi aku nggak tau harus
berbuat apa dengan orang yang care sama aku, aku nggak pernah mendapat sentuhan
kasih sayang orangtuaku. Mereka tu rasanya nggak pernah ada didunia ini. aku..hiks”
Sana segera sadar dan cepat-cepat diusapnya airmatanya.
“Biasanya
otakku selalu bekerja cepat melarang kalau aku terlalu mendramatisir sesuatu
seperti ini. well, aku malu! Maaf ya,”
“Semua
orang berhak nangis kok, sekeras apapun orang itu, nggak perlu malu.” Gifa
tersenyum dan menggenggam erat tangan Sana. Tiba-tiba saja hari yang cerah
berubah mendung. Dan beberapa saat kemudian hujan mulai turun dengan deras.
“Yah
ujan, kerumah aku aja dulu ya, dekat kok dari sini..” kata Gifa. Mereka
berlari-lari kecil menuju rumah Gifa.
***
Sana
termenung didepan pintu rumah kos-kosan Gifa menatap sosok wanita yang selama
ini dicarinya. Wanita itu tak kalah terkejut. Hanya Gifa yang tak tahu menahu,
tapi ia sadar situasinya lagi tidak enak. Sana berbalik meninggalkan rumah itu
tak jadi masuk. Udara malam mulai menusuk kulitnya, apalagi dengan pakaiannya
yang basah kuyup itu.
“Sana!
Tunggu Sana!” teriak Gifa dibelakangnya. Sana segera berlari menjauh. Wanita
itu masih berdiri dengan otak penuh tanda tanya. Sana anakku kah? Pikirnya
bingung. Sementara Sana, air matanya bergulir tiada henti. Hatinya kalut.
Antara bingung mau pergi kemana, meyakinkan kalau wanita dengan pakaian mewah
dan perhiasan di tubuhnya itu bukan ibunya. Sana memang masih kecil saat ibunya
meninggalkan dia dan ayahnya itu tapi Sana tahu itu ibunya. Jika memang itu
ibunya, ah, betapa malangnya dia, ibunya bermewah-mewah, sementara dia, dia
baru sadar kalau seharian ini tidak makan apapun selain eskrim tadi. Dan
kepalanya berdenyut hebat. Brukk!!
***
Sana
merasa mencium bau khas obat-obatan, perlahan matanya membuka.
“Sana,
kamu sudah sadar nak? Ohh syukurlah.” Suara wanita berkata lega terdengar dari
telinga Sana. Sana membuka matanya. Pandangan kabur menghiasi pemandangan
matanya. Dan semakin lama semakin jelas. Dimana ini?. Gorden putih, dinding
putih, ah ini rumah sakit. Sana melihat sekelilingnya. Ada Gifa, Dani, dan
beberapa orang yang tak dikenalnya dan.. seorang wanita paruh baya sedang
mengelus kepalanya. Sana sadar itu wanita yang selama ini diharapkan
kedatangannya oleh Sana. Sana mencoba menepis tangan wanita yang sedang
membelai rambutnya tapi ia merasa lemah sekali.
“Si..siapa
kamu?” tanya Sana dengan susah payah. Susah sekali baginya mengeluarkan suara.
“Sayang,
ini ibu, maafin ibu, maafin ibu udah ninggalin kamu dulu.” Ibunya menangis
sesenggukan. Sana menatapnya sinis.
“Ibu
ku sudah mati ketika umurku 8 tahun, aku tidak mempunyai ibu lagi. Mungkin anda
salah orang. Karena anda harus tahu, banyak orang mirip didunia ini. Tolong aku
Gifa, lepaskan jarum infus ini. aku harus cepat-cepat pergi.”
“Nggak,
Sana kamu harus dengarkan penjelasan ibu kamu dulu.”
“Aku
nggak mau dengar bangsat!” maki Sana dengan suara lemah.
“Itu
yang selalu kamu ajarkan ke aku dulu kan! Memaki, huh, dan sekarang aku sudah
jadi professional dalam memaki orang.” Lanjut Sana. Dia sangat tidak menyangka
akan bertemu dengan ibunya lagi. Sana mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi
kepalanya sangat pusing dan Sana kembali tak sadarkan diri.
***
“Sana!”
seru seseorang dibelakangnya, Sana menoleh dan tersenyum. Sana ingat lagi
kejadian smeinggu lalu, ketika dia masih dirumah sakit. Dia terbangun lagi
setelah pingsan untuk yang kedua kalinya. Dan dia melarikan diri dari rumah
sakit, yah meskipun saat itu tubuhnya sangat lemah. Diluar rumah sakit ia
bertemu Gifa, dan tentu saja Gifa mengejarnya. Sana mengira Gifa akan
membawanya kembali kerumah sakit, ternyata enggak.
“Kamu
udah bisa keluar kok hari ini, kamu kan nggak sakit berat, Cuma anemia biasa.”
Kata Gifa waktu itu.
“Sekarang
kamu mau kemana? Aku akan antar!” kemana? Iya kemana kamu? tanya Sana pada
dirinya sendiri.
“Aku
mau kembali kerumah, setidaknya dirumah itu masih ada barang-barangku.”
“Ok,
aku antar.” Kata Gifa. Setelah beganti baju, mereka pun pergi menuju kerumah
lama Sana. Sepanjang perjalanan Gifa terus memberi nasihat untuk Sana.
“Kamu
harusnya bangga loh, sekarang ibu kamu kan nggak suka memaki kayak dulu lagi,
kamu harus menghargai perubahannya.”
“Yah
whateverlah, peduli banget dengan wanita itu.” Kata Sana cuek dengan nasihat
Gifa. Tapi sepetinya Sana harus menarik kata-katanya ketika melihat seorang
wanita sedang menyapu di rumahnya. Sana hendak memaki perempuan tak tau malu
itu, tapi dia teringat kata-kata Gifa tadi. dan bagaimana pun dia yang sudah melahirkan
Sana. Sana mendadak ingin menangis. Dia baru saja hendak berlaku kurang ajar
pada orang yang melahirkannya. Orang yang mempertaruhkan nyawanya, demi
dirinya. Mendadak Sana jadi merindukan ibunya itu. Ia berlari menghampiri
ibunya , memeluknya erat dan membisikkan kata-kata sayangnya. Tiba-tiba
bapaknya keluar dari dalam rumah dan melihat adegan itu, tersenyum penuh arti.
“Sana,
jadi gimana?” lamunan Sana buyar.
“Eh
apanya? Loh katanya mau cerita, kok malah apanya sih!” kata Sera sambil
cemberut.
“Okey,
maaf aku cerita deh,” kata Sana sambil tersenyum. Akhir-akhir ini banyak hal
yang dia pelajari, tentang pentingnya senyum, dan kata-kata kotor yang harus
dicoret dari kamus hidupnya, tentang cinta dan sahabat, keluarga..
“Ayahku
sekarang kerja di kantor dinas pendidikan, ibuku sekarang sedang mengurus
penghibahan rumah kos-kosan punya almarhum suaminya, dan ayah sama ibuku
bakalan nikah lagi 2 minggu lagi, kalian jangan lupa dateng ya, jangan lupa
bawa pegawal-pengawal pribadi kalian..” kata Sana lucu.
Tawa
mereka berderai.
“Duh
kalian sih enak, punya semua, la aku.” seru Sita pura-pura kecewa,
“Duh
Sitaa. Kan Genta selalu menunggumu..” celetuk Selly. Mereka kembali cekikikan
tak karuan.
Tilililit!
Ada
sms masuk kehp Sana, Where are u, dear? I’m waiting for you in library,key. Gifa.
Sana seperti dipaksa senyum. Bahasa inggris
cowok ini masih aja kacau balau.
“Eh, berita penutup, aku jadian sama Gifa 2
hari yang lalu dan sekarang aku harus pergi, dah muah byebye semua!” seru Sana
tanpa mempedulikan temannya terbengong.
***END***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar