Setelah aku selesai membantu ayahku menyapu sekolah,
aku segera berlari mengambil sepedaku dan pergi ke sekolahku yang lumayan jauh
dari sekolah ini. oh iya, kenalin nama aku Askia, panggilannya ya Askia. Sudah
sejak dulu keluarga kami tinggal di kompleks SMA 70 ini. Ayahku penjaga sekolah
sekaligus tenaga honorer di sekolah ini, sedang ibuku jualan makanan seperti bakso, mie ayam, soto dan
lain-lain di kantin sekolah. Pagi-pagi
sebelum pergi sekolah, aku bantu ayahku dulu menyapu teras di sekolah ini, setelah
itu baru aku pergi ke sekolahku. Aku sekolah di SMA 31, aku tidak sekolah
disini karena biaya perbulannya mahal, terpaksa deh aku sekolah di sekolah
pinggiran yang jauh dari rumah.
“Pagi Mer,” sapaku pada teman sebangkuku sekaligus
sahabat terdekatku, Merry.
“Pagi Askiaaa,” sahut Merry sambil mengembangkan
senyum termanisnya.
“Udah sarapan belum? Aku bawa kue lo,” kata Merry
lagi sambil membuka kotak makanannya dan menyodorkannya padaku. Aku melirik
isinya dengan berminat.
“Wah Roti kismis ya, enak nih.” Aku mencomot satu
dan baru akan memasukkannya ke mulut, tiba-tiba pak Rory sudah masuk ke kelas.
Aku meletakkan lagi kue nya.
“Nanti aja deh mer, pas istirahat.”
***
Setiap menyapu di depan kelas 2 ipa 2, aku selalu
melihat seorang cowok di dalam kelas itu. Awalnya aku heran karena dia selalu
datang pagi-pagi, tapi lama-lama aku tidak terlalu mempedulikannya lagi. Cowok
itu berperawakan tinggi, wajahnya cukup manis. Setiap aku datang untuk menyapu
dia selalu menoleh dan melihatku. Aku membeikan senyumku tapi dia memalingkan
mukanya tanpa membalas senyumku. Huh, benar-benar menyebalkan. Hari ini aku
menyapu sedikit terburuburu karena aku bangun kesiangan. Sampai di depan kelas
2 ipa 3 aku melihat sebuah amplop tergelatk celingukan sendirian. Sebuah amplop
berwarna biru. Aku memungutnya dengan perasaan aneh. Karena di amplop itu
tertulis namaku di lengkapi dengan embel-embel ‘gadis penyapu’. Aku melirik
kekiri dan kanan berharap ada orang yang bisa menjelaskan tentang keberadaan
amplop ini. Aku berjalan ke kelas 2 ipa 2 mungkin yang biasa ada di kelas itu
tahu siapa pengirimnya. Tapi, cowok itu tidak ada. Aku penasaran sekali dengan
isi surat dalam amplop ini. aku hendak membuka tapi tiba-tiba ayahku datang,
cepat-cepat aku sembunyikan amplop itu di saku rok abu-abu yang kupakai.
“Askia, udah jam berapa nih,belum pergi sekolah
juga, sini sapunya biar ayah lanjutin.”
Aku menyodorkan sapu dan mencium tangan ayahku.
“Askia pergi dulu ya ayah, assalamualaikum.” Seruku
sambil berlari dengan tergesa-gesa. Samar-samar aku dengar ayah menyahuti
salamku.
***
“Askia, untung kamu cepet datang,” kata Merry saat
melihatku memasuki kelas.
“Kenapa Mer, ada apa?”
“Kata Fira di majalah teenlit terbaru ada poster
jumbo jonas brother. Pokoknya aku harus dapetin sebelum kehabisan.”
“Ih kirain ada apa,” kataku jadi lesu.
Temanku yang satu ini ngefans baget sama Jonas
brother, eh ralat deh, bukan ngefans lagi tapi gila. Omongannya tiap hari pasti
jonas brother, jonas brother, jonas brother. Emang sih artis barat yang satu
itu emang ganteng-ganteng, tapi kan sesuatu yang berlebihan itu nggak baik.
“Kamu temenin aku nanti ya beli majalah itu.”
“Okey, okey,” sahutku. Aku lupa dengan surat yang
ada di kantong rok ku.
Bel istirahat berbunyi.
“Yuk cepet Askia.”
“Cepet apa?” tanyaku bingung.
“Kan kita mau beli majalah.” Kata Merry.
Aku terlonjak.
“Sekarang ya? aku kira balik sekolah nanti.”
“Yah, nanti kehabisan kalau nunggu pulang sekolah.
lagian jaraknya jauh kan makan waktu 30 menit ke agen majalah itu, kalau pulang
sekolah, nanti anak sekolah lain yang lebih dekat udah nyerbu majalah itu lagi,
entar aku kehabisan, aku nggak mau Askia, sebagai fans jonas brother yang
sejati aku harus punya posternya dan juga tahu semua info mereka.” kata Merry
menggebu-gebu. Aku menatap temanku yang bermata sipit itu dengan tatapan
ogah-ogahan.
“Berarti kita bakalan ketinggalan pelajaran
matematika dong? lagian gimana cara keluar dari sekolah tanpa lewat pintu
depan?” aku masih mencoba merubah pikiran Merry.
“Nggak apa-apa lah, pak James pasti ngerti kok, kita
bisa lewat musholla, kan banyak tuh anak-anak bandel yang minggat lewat situ.”
“Jadi kita anak bandel gitu?” tanyaku masih ogah.
“Pokoknya kamu harus ikut, kan kamu udah janji
tadi.”
“Iya deh,” kataku dengan terpaksa. Padahal
matematika adalah pelajaran favoritku. Aku akan merasa bersalah sekali kalau
meninggalkan pelajaran yang satu itu, apalagi pak james orangnya baik banget.
Merry menarik tanganku supaya aku mempercepat
jalanku. Kami melewati musholla kemudian keluar dengan bebas. Musholla sekolah
kami ini terbuka untuk umum jadi tidak ada pagar yang menutupinya supaya orang
luar bebas masuk. Kami sampai di toko buku, Merry segera memburu majalah
teenlit yang dicarinya. Sementara aku masuk ke toko buku dan melihat
novel-novel yang baru terbit. Aku melihat seorang cowok berdiri di depan rak
buku yang memuat novel winnetou karya karl mark dengan cover buku yang
diperbaharui lagi. Cowok itu membolak balik buku itu dengan tampang penuh
minat.
“Buku itu bagus loh, aku pernah baca punya temen aku
sih, karl mark pinter banget membuat tokoh winnetou di buku itu seolah
benar-benar punya nyawa. Imajinasi kita akan melambung jauh. Kita akan dibawa
seolah-olah kita yang mengalamin
petualangan itu sendiri. Pesan moralnya, menurut aku kita nggak boleh cepat
puasa dengan apa yang kita miliki dan kita capai karena hal itu hanya
melahirkan kesombongan.” Aku menutup mulutku, ah aku terlalu banyak bicara.
Cowok itu menoleh. Astaga, bukannya dia yang ada di kelas 2 ipa 2 setiap aku
menyapu pagi-pagi itu. Dia menatap ku dan kemudian pergi tanpa berkata apa-apa.
Cowok itu jangan-jangan dia yang mengirimiku surat. Oh iya, aku belum baca
suratnya. Aku merogoh kantong rok abu-abuku. Loh kok tidak ada. Aku cari di
saku bajuku, tidak ada juga, duh dimana sih. Mungkin ada di tas kali ya. Tasnya
masih di sekolah.
“Yuk As, udah selesai nih keren kan jonas
brothernya.” Merry mendekatiku dan menunjukkan poster jonas brother yang ada di
majalah itu.
“Iya deh keren keren, nih aku kasih semua jempol
aku, jempol kaki, jempol tangan.”
“Ada yang kurang tuh jempolnya.”
“Apa?”
“Jari kaki kamu semuanya jempol kan?”
“Brengsek!” kami tertawa bersama.
***
Ternyata kami beruntung hari ini. Tepatnya aku yang
beruntung. Pak James tidak masuk dan guru pada rapat jadi pulang cepat deh. Aku
mengayuh sepedaku laju. Sialnya dijalan ban sepedaku bocor. Untung sudah dekat
rumah. Aku mendorong sepedaku sambil menggerutu dalam hati. Beberapa saat
kemudian melintas sebuah mobil sedan mewah-yang mengemudinya seperti anak SMA
gitu deh dan melewati lubang di jalan yang tergenang air bekas hujan tadi malam
dan menciprat ke pakaian ku menyisakan noda berwarna coklat di baju seragam
yang ku pakai.
“Argh!!Sialan kamu, mentang-mentang punya mobil
nggak liat ada orang lagi jalan kaki kena cipratan dari mobil kamu itu? Dasar
orang nggak tahu malu!”
Cowok itu menghentikan mobilnya dan melongokkan
kepalanya untuk melihatku. Ah itu cowok yang di toko buku. Kukira dia akan
turun dan minta maaf. Tapi ternyata tidak sama sekali, dia melajukan mobilnya
lagi tanpa mempedulikanku. Ah betapa menyebalkannya cowok itu, siapa yang
bakalan mau beteman dengan orang seperti dia. Aku sampai di lapangan SMA
70 dan segera memarkir sepedaku di depan
rumahku. Di lapangan basket ada pertandingan basket sepertinya. Aku melihat
lagi, bukannya itu cowok yang tadi, ah kenapa dari tadi yang kulihat hanya
cowok itu. Dia keren sekali dengan seragam basket yang dia pakai sekarang
ditambah dengan handball di pergelangan tangan kirinya.. kenapa aku sempat
berfikir pengirim surat itu dia, jelas nggak mungkin sekali. Apalagi setelah
aku mendengar percakapan dua gadis yang berdiri di belakangku sekarang.
“Aska itu yang mana sih?”
“Itu loh yang pakai handball itu.”
“Oh yang itu, pantesan anak-anak pada banyak yang
naksir, emang keren banget sih, wah aku juga jadi suka deh kayaknya.”
“Terserah kamu deh, tapi katanya dia itu dingin
banget orangnya.”
“Dingin bahasa inggrisnya cool kan? Wah berarti dia
macho banget kan?” aku mengernyitkan dahi, emangnya cool sama macho sama, sejak
kapan tuh! Apa lagi cowok model siapa namanya tadi, Aska? Hah? Bukan cool tapi
judes, bukan macho tapi galak! Emang sih aku nggak pernah ngomong langsung,
tapi cara dia natap orang tu nunjukkin kalau dia itu galak dan judes. Masak,
cowok kayak gitu diidolain sih sama mereka. Pada nggak waras kali ya? orang
yang nggak pernah senyum kayak gitu juga, ih. Tu kan, aku jadi ngelamun. Oh iya
surat tadi belum ketemu juga. wah kalau sampai ditemuin sama orang lain bisa
gawat, aku nggak tahu sih isinya apa, tapi kan ada nama aku disitu. Tadi di sekolah
aku sudah cari di dalam tas tapi nggak ada juga. Ya sudahlah, mungkin memang
nggak boleh aku baca.
“Eh kamu.” seorang bapak menunjukku dan melambaikan
tangannya padaku.
“Kamu anaknya pak Roy yang penjaga sekolah kan? Bisa
bantu bapak? Panggilkan anak kelas 2 Ipa 2 yang namanya Aska trimono ya
sekarang. Kamu udah pulang sekolah ya? oh iya cepat ya.” ah bapak ini
benar-benar menyebalkan, tak bisakah bapak membaca pikiran saya yang malas
sekali bertemu dengan makhluk itu, lagian kenapa harus aku sih kan masih banyak
tuh anak muridnya yang bisa di suruh, apa karena aku anak bawahannya jadi aku
bisa asal disuruh gitu?
Aku sampai di kelas 2 ipa 2 dengan selamat. Aku
ketuk pintu kelasnya.
“Yang namanya Aska dipanggil ke kantor sekarang!”
kataku sedikit malu, ya kamu bayangin seluruh mata yang ada disitu
memandangimu, dan tidak ada satupun yang kamu kenal.
“Askanya masih diruang loker deh kayaknya. Lo cari
aja disitu.”
Ah benar-benar menyusahkan. Untung aku sudah hapal
isi sekolah ini, kalau nggak, aku bakalan pusing cari ruang loker yang
tersembunyi itu. Uh kalau bukan karena amanah, mungkin aku sudah lari ke kantin
tempat ibu jualan, tapi kata ayah amanah dari orang harus dijalankan sampai
tuntas supaya kita dapat pahala. Aku sampai diruang loker dan terlihat di
depannya banyak anak-anak cowok berseragam basket penuh keringat. Mereka sedang
asyik bercanda. Tapi nggak ada Aska disitu.
“Aska mana? Dia di panggil ke kantor.” Kataku pelan.
seseorang dari mereka menyahut.
“Ada tuh di dalam, lo buka aja pintu yang itu dia
ada di dalam kok.” Kata cowok itu dengan tatapan rese. Dan dengan bodohnya aku
turuti saran cowok itu. Aku melangkah masuk dan memutar pegangan kunci ruangan
itu dan aku melihat pemandangan yang seharusnya nggak aku lihat. Dia Cuma pakai
underwear, dia terkejut, apalagi aku. kami berteriak bersamaan dan bruk!
Tubuhku ambruk, samar-samar aku mendengar langkah kaki terburu-buru dan
percakapan mereka.
“Kenapa lo biarin masuk!” kata Aska panic.
“Yah, gue nggak tau dia bakalan pingsan ngeliat lo
telanjang!” kata temannya yang lain.
Setelah itu
aku tidak tau apa-apa lagi.
***
Mataku membuka pelan. Aku melihat sekeliling.
“Lo nggak apa-apa kan?” kata Aska panic. Aku
terlonjak dan langsung duduk.
“Kamu! argh!” aku memegang kepalaku yang pusing
lagi. Aku cepat-cepat turun dari tempat tidur.
“Maaf tadi aku..” kata Aska gugup. Keringat dingin
bercucuran dari dahinya. Aku ingat lagi kejadian tadi, dan menggeleng
kuat-kuat.
“Aku nggak liat apa-apa, aku nggak liat apa-apa,”
gumamku pelan.
Cowok itu makin keringetan.
“Na..nama aku Aska.” Katanya sambil menyodorkan
tangannya yang gemetaran. Aku tidak menyahut, tapi aku malah pergi meninggalkan
uks itu. Sebelum aku pergi aku bilang ke dia.
“Nggak perlu, aku dah tau kok nama kamu.”
***
“Jadi kamu liat dong ‘itu’nya? Ih Askia porno ah!!”
“Enggak! Aku nggak liat kok, tapi aku tau dia cuma
pakai underwear.”
“Itu namanya liat dong!” kata Merry. Aku mengalihkan
pandanganku kearah pohon cermai yang tumbuh di halaman sekolah. Seorang cowok
mendekati kami, Cello. Dia tersenyum padaku.
“Hai As, udah ada balasannya belum?” aku
mengernyitkan dahi.
“Balasan apa? Kamu ngomong apa sih?” tanyaku.
Merry menepuk jidatnya.
“Duh Cello, Merry lupa ngasih ke Askia suratnya.”
“Surat apa Mer?”
“Kemaren kan Cello nitip surat, nggak tau deh surat
apa, trus Merry lupa kasih. Suratnya tiba-tiba jadi dua, ada dikantong baju
dua-duanya trus bajunya dicuci kayaknya tinta penanya luntur deh.” Aku kaget,
dua?
“Yang satunya warna biru bukan?”
“Oh kayaknya iya, oh iya Cello, kenapa mesti pake
surat sih? Ngomong aja langsung sama orangnya.” Kata Merry menatap Cello. Wajah Cello mendadak memerah bersemu. Aneh.
“Nggak bisa Mer, soalnya aku malu entar.”
“Oh gitu ya.”
“Sekarang surat yang biru dimana? Masih dirumah?”
tanyaku masih panik.
“Duh, kan Merry udah bilang baju merry di cuci,
kemungkinannya tinggal dua suratnya selamat atau enggak. Memangnya surat biru
itu punya Askia?” Iya Merry. Kataku dalam hati. Seseorang menulisnya untukku.
Tapi Cello mau bilang apa sih, kok pakai surat segala. Ketika aku menoleh
Cellonya udah pergi.
“Ya udah deh nanti Merry tulis surat untuk
penggantinya.”
“Ye mana bisa.” aku tertawa mendengar candaan Merry.
“Ye kan, kita berani berbuat harus berani
bertanggung jawab.”
“Tapi kan beda.”
***
“Ini As, aku tulis surat lagi, kamu baca di rumah
aja ya, jangan di sini.” Cello menyodorkan sebuah surat dan cepat-cepat pergi
meninggalkan kelasku. Seandainya Cello itu Merry, udah abis mungkin aku katain.
Hello abad 20 masih pakai surat! Apa kata dunia? Dan apa lagi sih isinya, Cello
suka sama aku? wah masak sih? Duh nggak mau ah, Cello emang tajir tapi gayanya
itu lo nggak nahan. Lagian dia juga gendut, tipe aku kan yang sixpack, jago
basket. Kalau Cello, jago makan kali ya? hihihi. Aku terkikik sendirian. Merry
lagi ke toilet sih, makanya aku nggak bisa berbagi ketawaku sama dia. kata
Cello baca di rumah, tapi maaf Cello aku nggak bisa menahan rasa ingin tahuku,
dan aku harus membuat keputusan mengoyak surat ini atau tidak. Ku buka amplop
berwarna merah hati itu pelan-pelan. Dan ku baca isinya yang sukses mengocok perutku. Aku bisa
bernafas lega. Ku baca surat itu sampai habis dan memasukkannya lagi kedalam
amplop. Merry kembali dari toilet.
“Merr, kalau ada yang suka sama kamu, kamu mau nggak
aku comblangin sama orang itu?” tanyaku jail.
“Apa sih?” aku sodorkan surat itu pada Mery. Mery
membaca surat itu kuat-kuat dan melemah ketika sampai pada inti surat itu.
“Aku suka sama Merry, maukah kamu jadi perantaraku
mendekati Merry?” Merry melipat lagi surat itu dan memasukkannya dalam amplop
dan memberikannya padaku tanpa ekspresi apapun.
“Kamu nggak suka ya Mer sama dia?”
“Suka kok,”
“Trus, kok nggak ada ekspresi apa-apa, seneng atau
kecewa kek.”
“Lo? Emangnya harus?”
“Iya harus dong,” Merry berfikir sejenak.
“Cello nggak jelek-jelek amat kok, aku fikir dia
suka sama kamu,hihihi.” Merry terkikik. Aku jadi ikut-ikutan. Kami terkikik
bersama.
***
“Askia, tuh ada surat di meja.” Kata ibuku saat aku
tiba di rumah. aku meletakkan tas sekolahku di atas sofa. Dan bergegas mengambil
surat beramplop biru itu.
“Siapa yang kasih bu?”
“Nggak tahu tadi udah ada di depan pintu rumah kok.”
Kata ibu dari kamar mandi. Aku buka amplop surat itu dan bergegas ke kamar. Aku
takut terganggu nanti nggak bisa konsen.
“Kamu mawar yang indah dan selalu bergerak ditiup
angin tapi tidak akan pernah patah, aku seorang kumbang yang takut terhadap
semua mawar kecuali kamu. Mawar indah dan kumbang yang rapuh, bisa kah kita
bertemu dalam situasi yang menyenangkan? Ah maaf kumbang memang terlalu malu,
tapi sekarang kumbang sedang mengumpulkan energy untuk menghisap madumu mawarku
yang indah. Tertanda seseorang yang menyukaimu.”
Aku tersenyum setelah membaca surat ini. aku merasa
penulis surat ini terlalu jujur dan aku suka orang seperti itu. Mendadak hatiku
berbunga-bunga. Ku dekap surat itu di dadaku. Ah iya, aku harus memblas surat
ini. aku bangkit menuju meja belajar dan menulis balasannya.
“Meskipun kamu menyebut dirimu kumbang yang rapuh,
tapi bagiku kamu adalah kumbang yang hebat, aku menyukai keterusteranganmu
meskipun kamu belum jujur siapa nama kamu, tapi itu ka nada saatnya nanti. Dan
jangan menganggap aku mawar, mawar terlalu cantik jika harus menggambarkan aku
yang biasa-biasa saja ini. well, aku kurang bisa berpuisi jadi, aku balas kayak
gini saja ya.” aku berhenti menulis.
Bagaimana cara memberikan surat ini ke yang mengirim, namanya aja nggak tau.
Aku masukkan surat balasanku ke dalam amplop yang berisi suratnya tadi. ah aku
masih belum menemukan solusi cara membalasnya bagaimana.
***
Pukul 08.00 aku baru bangun, duh gara-gara nonton
film tadi malam jadi bangun jam segini, jadi nggak sempet bantu orangtua deh,
untung hari ini sekolahku libur karena acara perpisahan kelas 3 yang nggak
semua siswa harus datang meskipun SMA 70 masih sekolah. aku mandi sebentar dan
segera ke kantin untuk bantu ibu.
“Pagi ibu,”
“Wah bangun juga putri tidur. Bantu ibu ya, kantin
rame banget soalnya.”
“Iya ini mau bantu.” Benar-benar rame aku sama ibu
kewalahan melayani, tapi aku harus bersyukur, artinya tuhan kasih rejeki buat
kami. Pukul 12.00. Anak-anak SMA70 udah pada pulang, hanya tinggal beberapa
orang, ibu menyuruhku membetulkan selang gas, sementara ibuku sudah pergi
meninggalkan ku sendirian di kantin. Aku berjongkok membetulkan regulatornya.
Sebentar, selesai. Terengar langkah kaki, oh mungkin ibu. Aku segera berdiri.
Seseorang mengendap-endap. Bukan, dia bukan maling. Tapi dia Aska dan lebih
shocknya lagi, dia membawa surat beramplop biru dan meletakkannya di atas meja
makan. Dia belum sadar dengan kehadiranku.
“K..kamu?” kataku mendadak gagu. Dia menoleh dan
segera berlari meninggalkanku yang tercengang sendiri.
“Tunggu!” aku mengejarnya berlari menyusuri koridor
sekolah. tapi terlambat dia sudah memacu mobilnya meninggalkanku yang terpaku
sendiri. Kenapa harus lari.
Aku kembali ke kantin dengan langkah lunglai. Ku
raih surat itu dan kubaca isinya.
“Aku akan jujur sama kamu, tonton lusa pertandingan
basket final SMA 70 vs SMA 31. “ hanya itu. Sepertinya itu nggak perlu. Karena
kau sudah tahu.
***
“Aduh Candy, kita harus nonton, nonton pokoknya.”
Kata Merry sambil menyeret tanganku menuju lapangan basket.
“Duh, males kamu nonton aja sama pacar kamu tuh.”
Kataku. Oh iya, Merry udah jadian sama Cello semalem.
“Nggak mau, aku maunya sama kamu.” aku tersenyum melihat
Merry yang ngambek-ngambek gajelas gitu.
“Oke deh buat sahabat aku yang paling bisa bikin aku
mengalah.”
Merry memilih bangku nomor 2 dari depan. Tampak ada
Aska diantara klub lawan. Matanya seperti mencari-cari seseorang, dan set!
Matanya menemukan mataku, kami bertemu pandang beberapa detik dan akhirnya dia
tersenyum. Deg! Dia terlihat sangat ganteng kalau tersenyum seperti tadi. Saat
ini aku baru bisa membenarkan perkataan anak SMA 70 yang berbicara tentang Aska
waktu itu. Aku jadi semangat sekarang. Dan detik selanjutnya setiap Aska
memasukkan bola ke ring basket aku bersorak, meskipun beberapa pasang mata dari
sekolahku memandang dengan tatapan heran dan tidak suka termasuk Merry.
“Duh Askia, kalau tim lawan masukkin bola jangan
teriak histeris kayak gitu dong, bisa-bisa tim basket kita patah hati dan jadi
nggak konsen,”
Aku cuma tersenyum tanpa menanggapi apapun.
Pertandingan berakhir dengan kemenangan tim basket
SMA70, meskipun kecewa, tapi aku senang juga. Merry sudah hilang dari tadi,
mungkin pergi sama Cello. Tinggal aku sendiri.
“Askia!” aku menoleh dan melihat Aska menghampiriku.
Aku berharap dia nggak kabur lagi.
“Makasih udah nyemangatin,” katanya sambil
tersenyum. Tuhan bisakah berhentikan semua ini sebentar saja, aku ingin
menikmati senyumnya lebih lama.
“Ah, kamu liat ya, sama-sama.” Aku menunduk tak
berani menatapnya. Ya tuhan, baru kali ini aku malu, perasaanku bergejolak.
“Maaf ya, selama ini aku ngirimin kamu surat, dan
maaf juga kemarin aku kabur. Soalnya.. kamu harus tahu, aku ini sebenarnya
selalu gugup kalau bicara dengan perempuan, makanya waktu di uks aku gemetaran
dan waktu itu aku lari, aku selalu gugup, waktu di toko buku juga, dan waktu di
jalan yang kamu kena cipratan dari mobil aku itu, sebenarnya aku mau minta maaf
dan mau nawarin kamu tebengan, tapi yah penyakit gugup ku kambuh waktu itu,
makanya aku nulis surat. Maaf ya, aku memang pengecut.” Kata Aska lancar. Aku
tersenyum.
“Aku suka orang jujur kayak kamu.” aku menutup
mulutku. Duh, apa sih yang aku omongin ini. dia tersenyum lagi.
“Sejak ngeliat kamu bantuin orang tua kamu, aku
mulai punya ambisi untuk membunuh rasa gugupku. Aku nggak tahu kenapa.”
“Jujur, surat pertama kamu aku nggak baca, surat itu
nggak tau kenapa ada sama Merry, temen aku. jadi aku nggak tau isinya apa,
sebenarnya aku mau balas, tapi aku nggak tau mau ngirim kemana, nggak lucu dong
kalau aku temple balesannya di mading sekolah kamu.” dia tergelak.
“Askia, aku suka kamu.” bisiknya ditelingaku. Aku
menatapnya tak percaya.
“Aku ngerasa ini terlalu cepat.” Desisku pelan. dia
menunduk kecewa.
“Tapi aku merasa Cuma tersedia satu jawaban, yaitu
iya.” Dia memandangku lagi dengan senyum.
“Jadi? Kita jadian sekarang?” aku mengangguk, dia
dengan girang memelukku erat.
“Cie. Akhirnya jadian juga, apalagi tuh ceweknya
yang pernah pingsan waktu..” belum habis temannya bicara, Aska langsung
membekap mulut temannya itu yang tiba-tiba muncul rame-rame. Sepertinya mereka
dari tadi sembunyi deh. Aku ingat lagi kejadian itu.
“Aku nggak liat apa-apa kok, waktu itu aku emang mau
pingsan soalnya pulang sekolah jalan kaki, mau makan eh malah di suruh sama
guru kalian itu, jadinya pingsan deh.” Aku membela diriku.
“Bener nggak liat apa-apa?waktu itu Aska kan..”
belum selesai lagi di bekap lagi sama Aska.
“Ember lu sudah sana pergi! Ganggu orang aja!” Aska
mengusir teman-temannya itu. Akhirnya mereka pergi. Aska memegang tanganku
erat.
“Pulang yuk,”
“Iya,” kataku sambil mengangguk.
“Kakak, kenapa pegang-pegang temen aku? lepasin
nggak! Lepasin, Askia kalau dia godain kamu pukul aja dia.” seru Merry yang
tiba-tiba datang dari belakang sambil memukul kepala Aska. Aska berteriak
kesakitan di samping Merry ada Cello.
“Stop Mer, dia pacar aku sekarang!” kataku, menyebut
kata pacar membuatku bangga. Merry melongok.
“Jadi, kamu pacaran sama kakak aku?”
“Dia kakak kamu ya, hihi aku nggak tahu.”
“Nah elo, sekarang giliran kamu yang kakak pukul,”
kata Aska dengan tampang sewot. Aku tertawa melihatnya.
“Cello, kita kabur aja yuk.” Kata Merry sambil
menggandeng tangan Cello dan mengajaknya kabur. Haha aku senang sekali hari
ini, esok dan selama bersama Aska mungkin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar