Aku membenci
ibuku. Waktu itu sekitar 5 tahun yang lalu. Tepatnya ketika aku tamat sekolah
dasar. Umurku masih 11 tahun. Umur yang menurutku sangat rentan. Masih
membutuhkan bimbingan dan bantuan orang tua. Masih manja-manjanyalah. Tapi
ibuku dengan teganya mengirimku ke luar kota untuk melanjutkan sekolah. Jauh
dari rumah, dari keluarga, teman-teman. Padahal aku sudah memohon,
mengemis-ngemis meminta supaya ia membatalkan niatnya. Aku menangis, merajuk,
menendang-nendang dinding kamar, semuanya sudah kulakukan. Tapi hati ibuku
keras seperti batu. Saat itu aku tak mengerti bkenapa. Aku tidak mengerti
maksud ibuku. Yang ada dalam benakku hanya kemarahan, sakit hati, sedih,
kekecewaan mendalamyang tidak hilang dengan mudah dan rasanya ingin mati. Benar-benar kiamat
bagiku saat itu.
Ada
juga saat-saat aku marah pada Tuhan. Aku pikir Tuhan benar-benar tidak adil
padaku. Kenapa Ia membedakan jalan hidupku dengan jalan hidup teman-temanku
yang lain. Kenapa aku berbeda dari mereka? Kenapa mereka masih bisa merasakan
kasih sayang orang tuanya sedangkan aku tidak? Karena selain disuruh keluar
kota, aku juga disuruh masuk sekolah keagamaan yang sama sekali tidak pernah
terbayangkan dalam benakku. Padahal teman-temanku masuk sekolah umum semua
sementara aku masuk sekolah keagamaan yang argh! Bagi kami sekolah itu sama
sekali tidak keren. Memakai jilbab. Aku benar-benar tidak menyukainya sat itu.
dan kekecewaanku makin berlipat-lipat. Aku sedih sekali.
2
minggu pertama, ibuku menemaniku di kosan. Memasak, mencuci bajuku masih ia
yang melakukannya. Namun setelah 2 minggu, ibuku kembali ke kampung kami. Saat
itulah aku merasa benar-benar menjadi anak terbuang. Ketika Kak Tin, nama kakak
yang sekamar denganku, pergi kuliah dan aku kebetulan masuk siang, mulailah
rasa kecewa itu berkelebat dihatiku. Aku menangis sepanjang hari sampai mataku
bengkak. Malam harinya juga begitu. Aku mulai menangis sambil menahan isaknya
supaya tidak terdengar Kak Tin yang sudah tidur disampingku. Aku teringat
ibuku, teringat betapa senangnya mereka dirumah sementara aku sendirian disini.
Itulah saat paling menyedihkan dalam hidupku.
Sampai
aku mendengar percakapannya dengan tetangga kami ketika libur sekolah dan aku
pulang ke rumah. ia bilang “Yang bisa kita lakukan cuma memberikan yang terbaik
untuk anak-anak kita, bahkan meskipun harus mengorbankan kepentingan kita
sendiri.” Malamnya aku memikirkan kata-kata itu sebelum tidur. Aku tersadar,
betapa ibuku sangat menyayangiku. Seandainya ia tidak membiarkanku tinggal
sendiri aku pasti tidak akan bisa jadi orang yang mandiri seperti sekarang. Aku
juga akan terkurung di kampung ini dan tidak akan pernah mengenal dunia
perkotaan yang jauh lebih baik. Lagipula, ibuku pernah bilang langsung
padaku,”Wid ibu disini bukannya enak-enakkan, ibu disini mencari uang untuk
sekolahmu, jangan pernah berpikir kalau ibu tidak pernah memikirkanmu, ibu
selalu memikirkanmu tiap malam, makan apa anakku disana? Buktinya ibu
menelponmu tiap malam kan, terus bertanya sudah makan apa belum, ibu takut kamu
tidak makan nak,”
Ya
Tuhan, aku begitu menyesal sempat membenci ibuku, jika dibandingkan dengan
betapa susahnya ia melahirkan aku dan kebencianku hanya karena hal itu, aku
akan menangis sekuat-kuatnya, ibu.. maafkan aku.. anakmu yang tak tahu
berterima kasih. Hanya bisa menuntut dan menyalahkanmu. Bu.. Aku terlalu bodoh
untuk menyadari semua cinta yang kau berikan untukku. Harusnya dari dulu aku
mensyukuri keberadaanmu yang meskipun kau tidak ada disampingku, namun kau
selalu memperhatikanku lewat hatimu yang tulus dan tanpa pamrih. Buat kalian
yang tinggal sama orang tua, bersyukurlah, karena kalian nggak akan pernah
ngerasain yang namanya kangen ortu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar