Kenalin namaku Bila, aku ingin menceritakan sebagian dari
kisah hidupku yang suram ini. ayahku seorang penjaga sekolah sekaligus tenaga
honorer di SMA 70, sedangkan ibuku kerja di kantin sekolah itu. Kami tinggal di
kompleks sekolah itu tepat di samping mushola sekolah itu. Tapi, meskipun aku
tinggal di SMA itu, aku tidak sekolah disitu, abisnya mahal, SMA 70 itu sekolah
elit yang tidak mungkin bisa di tembus orang yang sadar diri seperti aku. Ya,
ada orang yang nggak sadar diri yang sekolah di SMA itu juga, dia saudara
kembarku. Namanya Salsa. Dari dulu aku sudah merasa orang tuaku tidak adil.
Dari sejak diberi nama. Nama kami sama, Salsabila. Tapi aku kebagian yang tidak
enak disebutnya, Bila. Kayak puisi deh jadinya. Tapi tidak apa-apa, aku tidak
marah kok, Cuma heran saja. Ketika SD, Salsa terus didahulukan kebutuhannya
sementara aku bisa kapan-kapan. Mulai dari tas baru, sepatu baru, semuanya
dibelikan setiap tahun oleh orangtuaku untuk dia. Aku, selalu dapat bekas dia.
Ya, memang dia duluan lahir disbanding aku, tapi nggak gitu juga kali. Awalnya
aku tidak bisa nerima, tapi lama-lama aku terbiasa dengan perlakuan itu.
Menjelang masuk SMA, Salsa ngotot mau masuk SMA 70 meskipun dia tahu kalau
biayanya besar. Aku mengalah dengan masuk SMA pinggiran yang jauh lebih murah.
Salsa punya
perawakan yang menarik dimataku. Dia cantik, tubuhnya langsing dibanding aku
yang sedikit berisi. Dia selalu mengikuti fashion, pergi jalan-jalan ke mall,
ke salon tiap minggu. Dia punya pacar yang bikin iri semua orang, ganteng dan
kapten basket lagi. Salsa benar-benar sempurna, semua yang diinginkannya
tersedia. Menurutku, setelah SMA kami tidak akan sulit dibedakan lagi, tapi
nyatanya masih banyak orang yang salah mengira aku Salsa, ada rasa bangga sih
menyelip, secara Salsa kan cantik, masa’ disamain sama aku yang dekil ini. kadang
risih juga dan sempat mau potong rambut biar orang bisa bedain. Tapi ibu
melarang, katanya cewek itu nggak boleh potong rambut pendek lah. Oke tentu
saja aku tidak bisa membantah.
Hubunganku dengan Salsa sih selalu akur. Yang pastinya
bukan akur sih, Salsa jarang sekali bebicara denganku tentang masalah
pribadinya, aku juga tidak. Kurasa aku salah, bagaimana bisa seorang yang
sempurna kayak Salsa punya masalah. Aku tentu saja pnya seribu masalah, sering
bangun kesiangan karena bantu ibu buat jajanan kantin sampai larut malam, terus
terlambat karena harus bantu ibu nyiapin jualannya pagi-pagi. Langganan kena
remediasi, dan kecerobohan-kecerobohan lain yang bikin aku susah dan orang lain
susah, pokoknya aku bertolakbelakang dengan Salsa yang selalu dapat nilai
ulangan minimal 80.
Belum lagi masalah pacar. Aku hampir tidak pernah pacaran
sejak diputusin sama pacar pertamaku di SMP dulu. Bukannya nggak laku, tapi
yang ngedeketin aku orangnya pada freak semua. Kemaren Hans, yang selalu
berkedip setiap sedetik. Aku risih sekali, aku tahu itu hal spontan dan tidak
direncanakan alias udah bawa’an lahir. Tapi benar-benar tidak enak dikedipin
cowok terus-terusan kayak gitu. Minggu lalu ada Rifki yang gemetaran tiap kali
bicara sama aku. Ada Faris yang nggak berenti ngelap keringat. Pokoknya banyak
deh mahluk aneh lain. Aku selalu iri dengan Salsa yang dapetin Riko, si
kapten basket yang sempurna itu.
Suatu hari, Tuhan sepertinya mengabulkan permintaanku.
Salsa sakit dan malamnya ia harus pergi ke pesta ulang tahun Riko. Wah, menjadi
Salsa dalam sehari, itu sih impianku. Sorenya ia sudah mengoceh kalau aku harus
memakai masker sebelum berdandan. Ya, meskipun ia masih sakit. Aku pun menurut,
meskipun wajah aku rasanya jadi kaku. Malam pun tiba, Salsa membantuku
berdandan padahal aku sudah melarang. Aku melihat dia begitu lemah. Salsa
memilihkan sebuah gaun malam berwarna ungu. Aku agak khawatir. Karena kulit
kami berbeda, kulit salsa begitu putih sementara aku sedikit kecoklatan dan
tubuhku memang lebih tinggi darinya dan lebih berbentuk karena aku sering
bersepada ke sekolah. Tapi Salsa bisa membaca pikiranku. Orang lain tidak akan
melihat sedetail itu dan bilang saja pengaruh makeup. Rambutku dipilin sedikit
dan dibiarkan terurai. Tada! Aku begitu terperangah dengan penampilanku. Hampir
mendekati sempurna.
“Ternyata lo nggak jelek-jelek banget ya kalau dandan..”
aku tersenyum senang mendengar pujiannya itu.
Terdengar suara klakson mobil dibawah.
“Itu pasti Riko, ya walaupun dia yang mengundang, dia
nggak akan melupakan kewajibannya sebagai pacar, dah pergi sana! Dan jangan
macam-macam ya sama cowok gue!” ancam Salsa. Ia memegang kepalanya yang
berdenyut.
Aku menemui Riko yang tampak tampan dengan stelan jas
hitam dan kemeja merah hati.
“Sa, kamu nampak beda, lebih cantik.. ayo!” pintar sekali
dia memuji.
Perjalanan terasa menyenangkan sekali karena Riko tak
berhenti mengeluarkan candaan untuk menggodaku.
“Kamu pernah dilamar nggak?”
“Nggak pernah? Emang kamu pernah?
“Nggak juga..”
“Trus kenapa tanya? Kamu pengen aku lamar ya?” tanyaku
jahil.
“Kok kamu bisa tau sih? Aku pengen ngerasain gimana
rasanya dilamar, kan biasanya cowok yang ngelamar.” Aku terbahak.
“Kok ketawa sih?”
“Ok, sekarang didalam mobil ini, disaksikan langit dan
seluruh isi alam. Aku alsabila akan melamar Riko untuk..” aku menghentikn
kata-kataku.
“Untuk??”
“Udah sampai.. tobe continue..” aku segera turun dari
mobil itu. Riko memegang pinggangku. Apa ini gaya pacaran mereka?
Para tamu yang kurasa temen-temen mereka berdua menyambut
kami dengan tepuk tangan. Pembawa acara langsung membuka acara. Riko menyeretku
ke depan kue ulang tahunnya.acar dimulai dengan aba-aba pemotongan kue. Ia
memberkan potongan kue peramanya pada kedua orang tuanya dan kemudian padaku.
Dan setelah memberikan kue itu ia mengecup pipiku lembut. Aku tersentak. Dadaku
berdebar kencang. Entah kenapa aku merasa bersalah sekali dengan Salsa. Setelah
acara itu selesai Riko menarikku memisahkan diri dari teman-temannya. Ia
membawaku kesebuah taman belakang.
“Kamu dulu bilang kamu nggak suka pesta kan? Tapi karena
aku kamu harus memaksakan diri..”
Hah? Masak sih Salsa nggak suka pesta. Duh aku harus
bilang apa?
“Makanya aku bawa kamu kesini.”
“Sa..” Riko menatapku serius. Ia mendekatkan wajahnya
kewajahku. Oh! Apa yang mau dilakukannya?. Aku harus apa? Disaat kebingunganku
itu handphone Riko berbunyi. Huft! Ia menjawab telponnya dengan beberapa kata.
“Kita mesti balik nih!temen-temen pada nungguin.”
Kami kembali ke pesta. Dan beberapa saat kemudian Riko
sudah menghilang entah kemana. Aku melihat berbagai kue coklat di atas meja dan
mengambilnya beberapa. Ternyata enak.
“Nggak pernah makan coklat ya?” tanya seseorang
dibelakangku sinis.
“Biasalah kan dia orang miskin! Karena Riko macarin dia
aja maka dia bisa ngerasain jadi orang kaya.” Suara yang lain menyahuti.
“Udah miskin sok kaya lagi!” suara yang lain lagi. aku
berbalik dan dihadapanku berdiri 3 orang cewek dengan dandaran menor. Yang satu
bertubuh kurus dan tinggi, dan yang satu bertubuh gempal yang satu pipinya
sangat kempot.
“Hati-hati dong kalo ngomong! Udah jelek, mulut kalian
kayak gitu lagi. cuih!” aku pura-pura meludah. Mereka terpelongo.
“Lo kok ! berani banget ya lo!”
“Kalian pikir aku takut sama kalian?” aku tak bisa mengontrol
emosiku lagi. aku acak-acak rambut si tinggi dan kujambak. Dua temannya
mencegal kedua lenganku. Keadaan pesta mulai tak beraturan, mereka mentoni kami
seolah kami pertunjukkan paling menarik di pesta itu. keadaan semakin tak
menentu, aku semakin menjadi. Tak berapa lama, muncul Riko memisahkan kami. Ia
menarikku menuju parkiran. Aku sudah bersiap untuk dimarahinya.
“Maaf, aku sudah bikin pesta kamu kacau. Mereka
benar-benar keterlaluan tau nggak. Aku siap kalau kamu mau marahin aku atau
mutusin aku..” yang terakhir harusnya tak kuucapkan. Biar bagaimaa Riko pacar Salsa
bukan aku.
Diluar dugaan,
Riko tersenyum.
“Nggak kok, aku bangga, selama ini aku nggak pernah
ngeliat kamu marah, dan hari ini kamu marah. Kamu hebat, tapi seharusnya kamu
bisa menghadapinya lebih cerdas lagi jadi nggak perlu berantakan kayak gini!”
Aku terperangah mendengarnya.
“Kamu nggak marah? Aku kan bikin kacau.”
“Nggak, ayo kamu nggak mungkin disni terus kan dengan
pakaian berantakan dan suasana yang nggak enak kayak gini?”
Aku mengangguk.
“Mereka sih , aku kan pacaran sama kamu bukan karna
popularitas atau kekayaan kamu. Memang aku orang miskin, tapi itu bukan alasan
untuk macarin kamu kan?” Riko mengacak-acak rambutku lembut.
Oke, terserah kamu deh!!”
***
“Apa?!” teriak
Salsa. Aku baru saja tiba dikamarnya.
“Matilah aku besok! Lo kenapa sih! Cari masalah, buat
malu gue aja, lo nggak tau siapa yang lo hadepin,, mentang-mentang lo lagi jadi
gue, lo bisa seenaknya giotu? Yang kena imbasnya gue tau nfgak? Argh!” Salsa
menajambak rambutku sekuat tenaganya. Aku brteriak-teriak kesakitan. Padahal ia
sakit, tapi masih punya tenaga aja.
“Sakit Sal, awww ampun apmun! Oke stop dulu!!” Salsa pun
menghentikan jmbakannya.
“Gue akan selesein ini semua, kasih gue beberapa hari
untuk jadi lom, dan kalau udah selesai lo bisa jadi diri lo lagi dengan tenang
kayak kemarin! Lagian kenapa sih lo nggak lawan mulut-mulut mereka itu!”
“Lo nggak tau mereka sih! Oke gue kasih waktu 2 hari.”
“Apa? 2 hari mana cukup lah 3 hari deh..”
“Terserah pokoknya gue mau semuanya balik kayak semula..”
Dan akhirnya aku dan Salsa bertukaran tempat selama
beberapa hari. Dia pergi kesekolahku dan aku kesekolahnya.
Aku tetap membantu kegiatan orang tuaku seperti biasanya.
Hari pertama, aku menerima pandangan sinis dari semua orang yang melihat
kejadian di pesta itu. kini aku sadar, Salsa punya segaanya tapi satu yang
nggak dia punya, kepercayaan dari orang lain. Aku rasa Salsa di sekolah adalaha
orang sombong, jadi tidak banyak yang menyukainya. Sementara aku, benar-benar
tidak bisa seperti itu, aku tidak bisa sehari tidak ngomong. Aku menolong siapa
saja yang kutemui, bahkan pagi hari aku menolong teman yang piket meskipun aku
tidak piket, pokoknya aku harus membuat semua orang baik sama Salsa nantinya.
Dalam sehari aku sudah bisa menhapal 29 teman sekelas Salsa. Aku juga melihat
sikurus tinggi dan temannya itu dikelas sebelah dan namanya Cersi meri dan
woli. Nama mereka begitu serasi. Hari pertama berlalu begitu saja. Hari kedua
ketika aku membantu Sifa membersihkan kaca jendela.
“Lo aneh! Lo ngerencanain apa lagi?”
“Ha? Maksud lo?”
“Gue tau kok isi pikiran lo, selama ini lo nggak pernah
baik sama orang, lo selalu sombong, dan orang kayak lo pasti punya tujun kan
untuk ngelakuin hal seperti ini..”
Aku terbahak.
“Lo jujur banget sih, nggak takut gue marah? Gini ya
Sifa, gue harus berbuat baik, biar masuk surga, gue juga pengen ngebanyakin
temen. Gue pengen temen-temen yang lain mulai menilai gue dari sisi yang baik. “
“gue nggak percaya! “ Sifa menyudahi kegiatannya. Cewek
berambut pendek itu membereskan peralatannya.
“Plis.. percaya gue..gue yakin lo mau percaya sama gue..”
pintaku degan wajah memelas.
“Oke, tapi gue nggak mau dilibatin sama urusan lo sama
Cersi and the gank. Key.”
“Nih dia anaknya!” suara Cersi mengagetkan kami.
“Ikut kita.” Ia menyeretku menuju ke laboraturium kimia
yang nggak pernah ada orangnya sepagi ini.
“Masih berani muncul ya lo!”
“Lo pikir gue apa, nggak berani muncul!”
“Nyahut lagi lo! Dasar brengsek!”
Meri dan Woli memegang kedua tanganku. Sementara Cersi
menyiapkan tinjunya.aku tidak bisa berbuat apa-apa.
2 pukulan sukses membuat wajahku memar dan hidungku
mimisan.
“Stop! Sebenarnya kalian mau apa sih? Mau mukulin gue
sampai mati?! Pukul aja terus.” Cersi hendak melayangkan tinjunya lagi.
“Stop!stop! kalian kenapa nggak ngomong lagi sih? Hah!
Riko akhirnya lo dateng..” bualku sambil menunjuk-nunjuk. Serentak mereka
menoleh kearah yang kutunjuk. Dan kugunakan kesempatan itu untuk melarikan
diri. Aku mengunci ruang laboratorium
itu sehingga mereka terkurung di dalam. Mereka berteriak-teriak minta dibukakan
pintu. Aku bergegas ke kantin dan membeli beberapa tisu lalu ke taman belakang
bsekolah yang jarang ada orang.
Aku duduk sambil membersihkan darah dari hidungku yang
terus mengalir.
“Karena mereka bertiga aku kalah! Mereka fikir aku apa?
Salsa, apa dia di giniin terus? Aku nggak pernah merhatiin Salsa sebelum ini..”
aku berujar pada diriku sendiri. Kubuang kapas-kapas kotor penuh bercak merah
di sembarang tempat.
“Kan, gue tebak emang lo disini!” Riko tiba-tiba sudah
duduk disampingku.
“Memangnya Salsa sering kesini?” tanyaku Refleks. Oh! Aku
keceplosan.
“Maksud aku..”
“Aku tau kok..” Kata Riko sambil menoleh kearahku, ia
terbelalak melihat wajahku. Aku menunduk mencoba menyembunyikan babak belur di
wajahku ini.
“Oke, ini nggak bisa di biarin lagi. ikut aku sekarang!”
“Kemana?”
“ke kantor guru!”
Seminggu kemudian..
Aku melakukan kegiatanku seperti biasanya, membantu ayah,
ibu dikantin sebelum pergi sekolah. Ketika aku keluar gerbang aku berpapasan
dengan Riko, aku tersenyum tipis, yah bagaimanapun semuanya kembali ke semula,
Cersi dan teman-temannya di skors,mereka juga membuat perjanjian agar tidak
membullying siswa lain, Salsa sudah kembali dan tidak ada yang perlu
ditakutkannya lagi. dan aku kembali menjadi dulu ketika aku tidak mengenal
siapapun di SMA ini. Aku lewat begitu saja di samping Riko sambil menyeret
sepedaku.
“Bila..” panggilnya. Deg! Jantungku serasa berhenti, ia
tahu namaku?
“Kita ketemu di tempat kamu mimisan kemarin? Pulang
sekolah. Akan aku tunggu.” Hah? Apa dia tahu kalau aku membohonginya selama
ini? Kenapa dia bisa.. ah aku harus bagaimana? Kalau aku mengakui mungkin dia
akan marah pada Salsa, tapi sepertinya dia sudah tahu. Riko, cowok yang nggak
pernah bisa aku tebak.
Jam 2 pulang sekolah. Aku datang ke taman belakang SMA
70. Riko menungguku sambil mendengarkan lagu dari headset. Aku datang dan duduk
di sampingnya. Ia melepaskan headsetnya.
“Aku tahu kamu datang..” kami terdiam untuk beberapa
lama.
“Aku minta maaf, aku rasa kamu tahu semuanya,
kebohonganku dan Salsa..”
“Aku tau kok, aku tau dari awal..”
“Ha?”
“Selama ini aku memperhatikanmu, kamu berbeda sekali
dengan Salsa, aku menukaimu dari awal aku ngeliat kamu. Dan asal kamu tau, aku
nggak pernah jadian dengan Salsa, Salsa emang suka aku dan dia bilang gitu,
tapi aku nggak pernah ngiyain, Salsa terlalu pendiam dan hati-hati, aku ingin
seseorang yang selalu blak-blakkan kayak kamu. Dari pertama ngejemput kamu, aku
tau kamu bukan Salsa, Salsa sepanjang yang aku tau, nggak punya tahi lalat di
hidung kayak kamu..” Riko menyentuh tahi lalatku. Ah iya, aku lupa menyamarkan
ini ketika jadi Salsa.
“Salsa nggak akan pernah melawan kalau di bulyying, dan
kamu melawannya, kalian kembar tapi sifat kalian bertolak belakang ya?”
“Jadi? Kamu pura-pura nggak tau kalau aku bukan Salsa?
Kamu ngelakuin aku kayak pacar padahal Salsa nggak pernah kamu perlakukan kayak
gitu? osh!!”
“Sorry, itu emua yang kulakuin ke kamu waktu itu, Cuma
Refleks..”
“Refleks ya? Hahahaha” aku tertawa pahit. Aku menjambak
rambut Riko.
“Aaaa! Sakit, “
“Rasain, makanya jangan boongin orang!”
Di tempat lain di waktu yang sama.
“Salsa aku suka sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar
aku?” Tanya Jay sambil memegang tangan Salsa. Salsa yang baru saja ditolak oleh
Riko tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin membuka hatinya untuk orang lain yang
menerimanya apa adanya.
“Ya, aku mau kok Jay..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar